TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

Hak Warga atas Sunyi

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi
Jumat, 12 September 2025 | 08:01 WIB
Budi Rahman Hakim, Ph.D.  Foto : Ist
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Foto : Ist

SERPONG - Pagi hari di Tangsel tak lagi ditemani suara burung. Yang terdengar adalah klakson bersahut-sahutan, motor ugal-ugalan, dan suara pengeras dari warung tenda yang belum ditertibkan. Malam pun tak lebih tenang—berisik oleh tongkrongan remaja, karaoke terbuka, dan pesta warga yang kadang lupa batas jam. Sementara layar gawai kita memuntahkan notifikasi tanpa henti: berita, komentar, sindiran, provokasi. Kita hidup di kota yang nyaris tak menyisakan sunyi.

 

Padahal, setiap manusia berhak atas keheningan. Hak atas sunyi bukan kemewahan, tapi kebutuhan mental dan spiritual. Dalam dunia yang makin bising, keheningan adalah ruang penyembuhan. Dan dalam perspektif tasawuf, sunyi bukan sekadar tiadanya suara, tetapi hadirnya kesadaran. Al-Qusyairi dalam Risālah Qusyairiyyah menyebut al-shamt (diam) sebagai pintu masuk ke dalam hāl batiniah. Seseorang tak bisa mengalami kedalaman jiwa tanpa lebih dahulu melampaui keramaian luar.

Polusi suara dan visual bukan lagi isu sepele. Data Dinas Perhubungan Tangsel (2024) mencatat 62% keluhan warga di sepanjang koridor Pondok Aren–Serpong berkaitan dengan gangguan kebisingan. Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup menerima lonjakan aduan soal pengeras suara acara warga yang melebihi jam malam, bahkan di malam Jumat.

 

Namun suara bising hanyalah gejala. Yang lebih mendalam adalah hilangnya ruang tenang dalam batin kita. Kita hidup dalam masyarakat yang terlalu banyak berkata-kata, namun sedikit mendengarkan. Terlalu banyak informasi, tapi miskin kontemplasi. Dalam al-Ḥikam, Ibn ‘Ataillah berkata, “Diam dari hal yang sia-sia adalah cahaya bagi hati.” Tapi kapan terakhir kali kita punya waktu untuk diam?

William Chittick, salah satu sarjana tasawuf kontemporer dari Barat, menggarisbawahi bahwa dunia modern telah menggantikan keheningan dengan hiruk-pikuk produksi dan konsumsi. “Spirituality requires stillness, and our civilization is increasingly allergic to stillness,” tulisnya. Artinya, tanpa upaya sadar, sunyi akan terus tergerus oleh percepatan kota.

 

Pemerintah Kota Tangsel perlu mulai menjadikan sunyi sebagai bagian dari hak warga. Seperti udara bersih dan air layak, keheningan adalah elemen penting dalam kualitas hidup urban. Beberapa kota dunia seperti Kyoto dan Zurich telah menerapkan zona hening (urban quiet zones). Mengapa Tangsel tidak mulai dari mengatur ulang jam aktivitas warga dan mengevaluasi sumber polusi suara?

Sunyi juga soal desain kota. Mengapa tidak membangun taman refleksi di tengah pasar? Atau menjadikan trotoar bukan sekadar jalur jalan kaki, tapi ruang merenung? Thomas Moore, penulis Care of the Soul, menyebut bahwa kota yang baik seharusnya mengandung “arkitektur batin”—ruang-ruang yang tidak hanya menyenangkan mata, tapi juga meredakan hati. Arsitektur spiritual ini bisa dimulai dari hal kecil: taman baca sunyi, mushalla yang teduh, ruang publik tanpa iklan.

 

Kita juga perlu merevisi cara pandang birokrasi. Sunyi bukan bentuk stagnasi. Ia adalah mode perawatan jiwa. Maka sudah waktunya ruang kontemplasi hadir di kantor kelurahan, di puskesmas, bahkan di terminal. Kita tidak hanya butuh pelayanan cepat, tapi juga pelayanan yang menenangkan.

Jika kebisingan telah menjadi budaya, maka kita perlu strategi budaya pula untuk menghadirkan sunyi. Kampanye literasi diam bermakna, pelatihan mindfulness berbasis tasawuf di sekolah, atau kolaborasi dengan pesantren dan komunitas spiritual urban bisa menjadi jembatan. Sunyi bukan berarti pasif, tapi aktif hadir dalam ruang batin sendiri.

 

Tangsel adalah kota yang sibuk. Tapi ia tak boleh menjadi kota yang kehilangan jiwa. Jika pembangunan terus berlanjut tanpa memperhitungkan kebutuhan batiniah warganya, maka kota ini akan tumbuh dalam angka, tapi tumbang dalam rasa. Seperti kata Imam al-Ghazali, “Kebisingan lahiriah adalah cerminan dari batin yang belum selesai.” Maka pembangunan sejati adalah pembangunan yang memperhitungkan sunyi sebagai fondasi keberadaban.

 

Mari kita dorong pemerintah kota untuk menyusun Peta Sunyi Tangsel—panduan spasial dan kultural untuk menjaga keseimbangan suara dan diam. Karena kota yang sehat bukan yang ramai sepanjang waktu, tapi yang memberi tempat bagi kita untuk berhenti, bernapas, dan kembali mengenal diri.

Sunyi bukan musuh produktivitas. Ia adalah sahabat kebijaksanaan. Dan seperti kata para sufi, “Yang paling dekat dengan Tuhan adalah mereka yang mampu mendengar dalam keheningan.” Maka hak atas sunyi adalah hak atas kembali—kembali kepada diri, dan kepada Ilahi.(*)

 

Budi Rahman Hakim, Ph.D.

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Warga Tangsel

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Rujak Purbaya
Kamis, 11 September 2025
Dahlan Iskan
Obat Gelembuk
Rabu, 10 September 2025
Dahlan Iskan
Hasil Demo
Selasa, 09 September 2025
Ist.
Menata Hasrat, Menata Kota
Senin, 08 September 2025
Dahlan Iskan
Joget Malinau
Kamis, 04 September 2025
Dahlan Iskan
Joget Kebenaran
Rabu, 03 September 2025
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit