PARARA Mini Festival 2025: Merayakan Pangan Lokal, Kain Tenun, dan Tradisi Nusantara Bersama Generasi Muda

JAKARTA – Konsorsium Panen Raya Nusantara (PARARA) kembali menghadirkan PARARA Mini Festival 2025 pada 12-13 September 2025 di Taman Literasi, Blok M, Jakarta Selatan.
Festival ini mengusung tema #CareEatLove dan menjadi ruang perayaan pangan lokal, tradisi nusantara, serta produk komunitas adat yang bertujuan mendekatkan kembali masyarakat, khususnya generasi muda dengan pangan sehat, berkelanjutan, dan penuh makna.
Festival yang bertepatan dengan momentum Hari Pangan Sedunia 2025 ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membangun sistem pangan yang adil, damai, dan berketahanan.
Melalui program interaktif, PARARA Mini Festival menghadirkan beragam aktivitas yang mengangkat pangan lokal, budaya, hingga wastra nusantara seperti kain tenun yang sarat makna dan nilai sosial.
Dalam rangkaian festival, kain tenun tradisional mendapat sorotan khusus. Tenun bukan sekadar kain, melainkan simbol perjuangan perempuan penenun di berbagai daerah. Melalui tenun, para ibu penenun tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga mampu mempertahankan lahan, membiayai pendidikan anak, hingga menghidupi keluarga.
“Tenun itu bukan hanya kain, tapi juga identitas dan simbol perjuangan perempuan. Setiap helai benang adalah cerita tentang ketekunan, budaya, dan masa depan,” ujar Mila Hasianna dari Borneo Chic/NTFP-EP, mitra PARARA yang aktif mendukung komunitas penenun lokal.
Ia menambahkan, generasi muda punya peran besar dalam menjaga keberlanjutan wastra nusantara.
“Antusiasme terhadap batik dan tenun sebenarnya sangat tinggi, terutama dari Generasi Z. Yang dibutuhkan hanyalah ruang untuk saling berbagi cerita dan kesempatan untuk mengenakannya dalam kehidupan sehari-hari,” lanjut Mila.
Narasumber juga menjelaskan cara membedakan tenun dan batik. Tenun asli sulit dipalsukan karena merupakan hasil teknik menenun, baik dengan tangan maupun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Tenun tangan biasanya memiliki nilai lebih tinggi dibanding tenun mesin.
Sementara batik dibedakan dari teknik pembuatannya batik cap, batik printing, hingga batik tulis. Batik tulis memiliki nilai paling tinggi karena garisnya tidak sempurna, menunjukkan sentuhan tangan manusia, dan harganya jauh lebih mahal.
Festival ini menampilkan lebih dari 16 komunitas dengan produk unggulan mulai dari pangan sehat, kerajinan, hingga karya fashion berbasis kain tradisi. Pengunjung juga bisa mengikuti talkshow, diskusi buku kuliner dan wastra, demo masak berbahan pangan lokal bersama Chef Laode (MasterChef Indonesia) dan Chef Ragil (NUSA Indonesian Gastronomy), hingga workshop kreatif seperti merajut noken Papua dan membuat kerajinan dari bahan alam.
Tak hanya itu, karya mahasiswa LaSalle College Jakarta yang terinspirasi kain tenun juga dipamerkan, ditambah hiburan musik oleh Bona Pascal dan pertunjukan seni tradisi.
Ketua Steering Committee PARARA, Anang Setiawan, menegaskan bahwa sejak 2015 PARARA konsisten menghadirkan festival dua tahunan untuk mendukung produsen pangan, pengrajin, dan komunitas adat.
“PARARA Mini Festival adalah wujud komitmen kami merawat bumi dan mendukung produsen lokal. Tahun ini kami ingin lebih dekat dengan generasi muda di perkotaan, mengajak mereka menjadikan pangan lokal sebagai bagian dari gaya hidup,” kata Anang.
Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan juga ikut berkolaborasi. Christriyati Ariani, Ketua Tim Kerja Gerakan Pangan Lokal Nusantara, menekankan pentingnya ruang publik untuk pangan adat.
"Banyak komunitas adat memiliki kearifan pangan yang sejalan dengan keberlanjutan. Kehadiran PARARA Mini Festival menjadi jembatan menuju gerakan pangan lokal nasional,” ujarnya.
Kemitraan PARARA dengan berbagai pihak, termasuk Borneo Chic, membuka peluang pertukaran pengetahuan, memperluas jaringan, serta menciptakan pasar baru bagi produk komunitas adat.
“Melalui PARARA, kami bisa belajar langsung dari komunitas lain, bukan hanya soal wastra, tapi juga pangan lokal. Pertukaran ini memperkuat solidaritas antar-mitra sekaligus memberi ruang tumbuh bagi produk tradisi,” tutup Mila Hasianna.
Festival ini bukan sekadar pameran, melainkan perayaan identitas budaya, pangan sehat, dan keberlanjutan. Dengan dukungan generasi muda, tenun, batik, dan pangan lokal diharapkan terus bertahan sebagai warisan yang membanggakan sekaligus masa depan bangsa.(*)
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu