Waduh, Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik
JAKARTA - Waduh! Hujan yang selama ini dianggap membawa berkah bagi warga Jakarta ternyata mengandung mikroplastik. Ini bukan hoaks, tapi temuan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
Hasil riset yang dilakukan BRIN dan DLH DKI Jakarta itu sudah dilakukan sejak 2022. Hasilnya, setiap tetes air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik atau sisa degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.
“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” ujar Peneliti BRIN, Muhammad Reza Cordova, dikutip dari laman resmi BRIN, Selasa (28/10/2025).
Menurut Reza, partikel yang ditemukan umumnya berbentuk serat sintetis dan fragmen kecil dari bahan plastik seperti poliester, nilon, polietilena, dan polipropilena. Rata-rata, ada sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari yang jatuh bersama hujan di kawasan pesisir Jakarta.
Fenomena ini, kata Reza, menandai babak baru dari “siklus plastik” yang kini sudah menjangkau atmosfer. Partikel plastik yang ringan terbawa angin dari debu jalanan, asap pembakaran, atau industri, lalu naik ke langit dan kembali turun bersama hujan.
“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” jelasnya.
Yang bikin ngeri, partikel mikroplastik ini bisa membawa bahan kimia berbahaya seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat, yang dapat masuk ke tubuh manusia lewat air, udara, atau makanan. “Yang beracun bukan air hujannya, tapi mikroplastiknya. Karena ia membawa bahan kimia aditif dan menyerap polutan lain,” tegas Reza.
Penelitian global menunjukkan, paparan mikroplastik bisa menyebabkan stres oksidatif, gangguan hormon, bahkan kerusakan jaringan tubuh. Dari sisi lingkungan, hujan berisi mikroplastik bisa mencemari air tanah, sungai, dan laut. Ujung-ujungnya, akan kembali ke piring makan manusia dalam bentuk ikan atau garam laut.
Menurut Reza, gaya hidup masyarakat perkotaan yang serba instan dan plastik sekali pakai menjadi biang utama. “Sebagian besar sampah dibakar atau hanyut ke sungai,” katanya.
BRIN pun menyerukan langkah lintas sektor. Yakni pemantauan kualitas udara dan air hujan, pengelolaan limbah di hulu, dan peningkatan fasilitas daur ulang. Bahkan industri tekstil diminta pasang filtrasi pada mesin cuci agar serat sintetis tidak lolos ke saluran air. Tak kalah penting, edukasi publik harus digencarkan.
“Langit Jakarta sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Plastik yang kita buang sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, semua kembali ke kita dalam bentuk yang lebih halus — tapi jauh lebih berbahaya,” tutup Reza getir.
Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Erik Teguh Primiantoro, mengakui fenomena ini bisa terjadi di mana saja, bukan cuma di Jakarta.
“Sumbernya beragam, terutama dari TPA. Sampah kita berasal dari banyak praktik yang tidak tepat, sebagian besar berakhir di darat, laut, dan sungai,” ujarnya di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Erik mengimbau masyarakat untuk tidak membuang plastik sembarangan. Plastik, kata dia, bisa diolah menjadi bahan bangunan atau paving jalan.
Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta masyarakat Jakarta waspada terkait hujan mengandung mikroplastik. Partikel mikroplastik yang terhirup atau masuk ke tubuh manusia dapat bertahan lama dan berpotensi berdampak pada kesehatan.
"Imbauan saya buat masyarakat adalah kalau bisa yang paling aman melindunginya pakai masker kalau jalan di luar," kata Budi usai bertemu Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).
Menkes menilai, penanganan harus dimulai dari hulu dengan mengurangi sumber pencemaran plastik, bukan hanya mengatasi dampaknya di hilir. Langkah ini, kata dia, membutuhkan peran aktif Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Pramono Anung.
"Artinya memang kita mesti mengurangi sumber polusi dari mikroplastik ini dan ini memang peranan Pak Gubernur (Pramono) penting sekali," ujar Budi.
Jika pencemaran bisa ditekan sejak dari sumbernya, maka beban pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, akan jauh lebih ringan. Dampak kesehatan akibat paparan mikroplastik bisa diminimalkan sebelum menimbulkan masalah serius di masyarakat.
Menanggapi hal itu, Pramono Anung menegaskan bahwa pihaknya siap menindaklanjuti temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang adanya kandungan mikroplastik dalam air hujan. Pemprov DKI telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menekan pencemaran dari limbah plastik.
"Tetapi saya setuju bahwa memang untuk pencegahan di awal, masyarakat harus prepare untuk menggunakan masker," ujar Pramono.
Ia menjelaskan, program Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) menjadi salah satu prioritas utama Pemprov DKI untuk mengurangi volume sampah plastik yang selama ini menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pengolahan sampah menjadi energi diharapkan dapat menekan limbah yang berpotensi menjadi sumber mikroplastik.
Selain itu, Pramono juga menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Menurutnya, pengurangan sampah plastik tidak akan berhasil tanpa perubahan perilaku warga, terutama dalam hal penggunaan plastik sekali pakai.
Dihubungi terpisah, Peneliti Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Firdaus Ali menilai, temuan ini seharusnya tak terlalu mengejutkan. “Mikroplastik sudah lama beredar di udara, air, dan tanah. Bahkan plastik hasil daur ulang yang kualitasnya rendah cepat terurai dan ikut beterbangan di udara,” kata Firdaus kepada Redaksi, semalam.
Ia menjelaskan, plastik hitam berkualitas rendah yang banyak dipakai di pasar dan warung-warung sangat mudah hancur menjadi partikel halus. “Kalau plastik itu mengandung aditif berbahaya, bisa bersifat toksik atau bahkan karsinogenik,” katanya mengingatkan.
Namun Firdaus tak mau menyalahkan plastik sepenuhnya. “Plastik itu sahabat peradaban. Kalau tak ada plastik, kita tak akan bisa simpan obat atau darah. Masalahnya bukan di plastiknya, tapi di perilaku manusia yang membuang dan membakarnya sembarangan,” ucapnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, Firdaus menegaskan pentingnya penguatan regulasi dan pengawasan terhadap industri plastik, termasuk memastikan bahan yang dipakai sesuai standar kesehatan dan lingkungan.
“Pemerintah harus melarang penggunaan bahan berbahaya seperti PET dan polycarbonate untuk kemasan makanan dan minuman. Di luar negeri, aturan soal ini sudah ketat,” ungkapnya.
Apa industri mau? “Ya, tergantung lobby-nya. Kalau mereka kuat, bisa saja menekan agar larangan itu tak jalan," pungkasnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu





