Mengapa Kepala Daerah Korupsi?
Biaya Politik Mahal Sekali, Kondisi Keuangan Terbatas
JAKARTA - Legislator Senayan menyoroti dua kepala daerah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sepekan terakhir. Kepala daerah itu adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo, Jawa Timur (Jatim), Sugiri Sancoko.
Abdul Wahid ditangkap pada Senin (3/11). Dia kemudian ditetapkan menjadi tersangka bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam.
Tak sampai sepekan, giliran Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dicokok pada Jumat (7/11). Dia ditetapkan menjadi tersangka bersama tiga orang lainnya, yaitu Sekretaris Daerah Agus Pramono, Direktur RSUD dr. Harjono Yunus Mahatma, serta seorang pihak swasta rekanan rumah sakit, Sucipto.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menilai, kasus korupsi yang terus berulang dilakukan kepala daerah karena tingginya biaya politik dan rendahnya kesejahteraan pejabat daerah. Sehingga, perlu adanya formula khusus terkait kesejahteraan kepala daerah ke depannya
Selama masa kampanye Pilkada, biaya politik sangat tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kultur politik saat ini yang semakin pragmatis. “Jika tidak ada perubahan formula, praktik korupsi akan terus berulang,” kata Rifqi di Jakarta, Minggu (9/11/2025).
Untuk itu, Rifqi mengusulkan agar kepala daerah mendapatkan insentif dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai bentuk penghargaan mereka. Pasalnya, para gubernur, bupati, dan wali kota telah bekerja keras dalam meningkatkan PAD.
Mereka berhak mendapatkan sekian persen dari PAD untuk kesejahteraan mereka, dan penggunaan uangnya diatur dengan legal dalam peraturan perundang-undangan,” kata politikus NasDem ini.
Insentif tersebut, lanjutnya, sekaligus dapat mendorong kemandirian fiskal daerah. Di satu sisi PAD meningkat, di sisi lain kepala daerah mendapat insentif yang layak atas upaya mereka. Dia menambahkan, biaya politik yang tinggi tak hanya terjadi saat kampanye dan sebelum pelantikan, tapi juga sepanjang masa pemerintahan. Sehingga, diperlukan formula yang lebih proporsional dan adil untuk memberikan ruang kepada para kepala daerah, agar bisa mendapatkan kesejahteraan yang layak sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Rifqi mengatakan, pihaknya akan membahas sistem pemilihan kepala daerah dalam revisi UU Pemilu dan Pilkada. Jalan lain seperti penunjukan gubernur oleh Pemerintah Pusat (Pempus) sulit dilakukan karena bertentangan dengan UUD 1945.
UUD 1945 telah menyatakan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis itu mengisyaratkan tidak mungkin dilakukan penunjukan,” jelas Rifqi.
Sebagai alternatif, Rifqi mengusulkan pola pemilihan melalui DPRD Provinsi. Cara ini bisa dengan pola dipilih secara otonom oleh DPRD. Kedua, Presiden mengusulkan minimal satu atau maksimal tiga nama kepada DPRD Provinsi untuk calon gubernur. “Nantinya DPRD Provinsi melalui rapat paripurna akan memilih atau menyetujui calon yang diusulkan oleh Presiden,” imbuhnya.
Sementara, Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penindakan, tapi juga pencegahan. Caranya, dengan melakukan sinergi antara kepala daerah baik gubernur maupun bupati atau wali kota dengan inspektorat daerah untuk memperbanyak ruang dialog.
“Sering-seringlah duduk bersama wali kota, bupati, dan inspektur daerah membahas hal-hal yang berpotensi menimbulkan korupsi sebelum jadi masalah hukum,” saran Setyo dalam keterangannya, Sabtu (8/11/2025).
Setyo menilai, pencegahan korupsi harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas lembaga penegak hukum. Sinergi antar instansi merupakan fondasi utama dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan. Pemberantasan korupsi harus seimbang antara pendidikan, pencegahan, dan penindakan.
“Penindakan tetap perlu, tapi pencegahan jauh lebih efektif untuk membangun integritas,” kata dia.
Meski sudah berkali-kali diadakan sosialisasi dan edukasi, masih ada pejabat yang mengabaikan prinsip transparansi. “Bila sudah diingatkan tapi tetap dilanggar, maka proses hukum jadi konsekuensi. Itu bagian dari efek jera,” tandasnya.
Selain itu, Setyo menekankan arahan Presiden Prabowo yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai prioritas nasional. Karena itu, seluruh pejabat daerah harus menjadikan semangat antikorupsi sebagai pedoman utama dalam bekerja.
Kalau Presiden sudah menekankan pentingnya pemberantasan korupsi, maka tugas kita adalah menjalankannya sesuai peran masing-masing,” pungkasnya.
Politik | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu


