TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Kasus Heli AW-101

Pembangkangan Perintah Presiden Dan Panglima TNI

Laporan: AY
Jumat, 14 Oktober 2022 | 11:14 WIB
Terdakwa kasus Helikopter AW 101 Irfan Kurnia Saleh. (Ist)
Terdakwa kasus Helikopter AW 101 Irfan Kurnia Saleh. (Ist)

JAKARTA - TNI Angkatan Udara (AU) tetap membeli helikopter AgustaWestland (AW)-101. Padahal, Presiden maupun Panglima TNI telah meminta dibatalkan.

Pembangkangan ini terkuak dalam surat dakwaan perkara Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway, Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri.

Bermula dari TNI AU mendapat tambahan anggaran untuk Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp 1.557.808.845.000. Termasuk untuk pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden Rp 742,5 miliar. Sebelum anggaran disetujui, Irfan telah melobi petinggi TNI AU.

TNI AU lalu melapor ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan) hendak membeli heli VVIP 4 unit. Heli akan ditampilkan pada HUT TNI AU ke-70 pada 9 April 2016.

Mengetahui rencana ini, Irfan memesan 1 unit heli AW-101 pada 14 Oktober 2016. Esoknya membayar uang tanda jadi (booking fee) 1 juta dolar Amerika atau Rp 13.318.535.000. Dana ditransfer dari rekening Diratama.

Pada 3 Desember 2015 dilakukan Rapat Terbatas tentang Alat Utama Sistem Senjata TNI. Presiden memberikan arahan agar dikalkulasi dan dihitung dengan benar sekali lagi kelayakan TNI AU membeli heli AW-101.

Pada kondisi ekonomi yang tidak normal seperti saat ini maka pembelian helikopter AgustaWestland jangan dibeli dulu,” demikian risalah rapat yang diterbitkan Sekretaris Kabinet pada 14 Desember 2015.

Kalaupun hendak membeli heli AgustaWestland agar dilakukan dengan kerangka kerja sama Government to Government (G to G).

Menindaklanjuti hasil rapat terbatas, anggaran pengadaan heli VVIP RI-1 diblokir atau diberi tanda bintang (*).

Pada 25 Januari 2016, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna melalui Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU Supriyanto Basuki mengirim surat ke Kemenhan mengenai perubahan pengadaan heli. Bukan lagi heli VVIP RI-1 tapi heli angkut berat.

“Spesifikasi teknis helikopter angkut tersebut tetap menggunakan spesifikasi teknis helikopter VVIP yang telah dibayar booking fee,” ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Suhermanto membacakan dakwaan Irfan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/10/2022.

Pada kondisi ekonomi yang tidak normal seperti saat ini maka pembelian helikopter AgustaWestland jangan dibeli dulu,” demikian risalah rapat yang diterbitkan Sekretaris Kabinet pada 14 Desember 2015.

Kalaupun hendak membeli heli AgustaWestland agar dilakukan dengan kerangka kerja sama Government to Government (G to G).

Menindaklanjuti hasil rapat terbatas, anggaran pengadaan heli VVIP RI-1 diblokir atau diberi tanda bintang (*).

Pada 25 Januari 2016, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna melalui Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU Supriyanto Basuki mengirim surat ke Kemenhan mengenai perubahan pengadaan heli. Bukan lagi heli VVIP RI-1 tapi heli angkut berat.

“Spesifikasi teknis helikopter angkut tersebut tetap menggunakan spesifikasi teknis helikopter VVIP yang telah dibayar booking fee,” ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Suhermanto membacakan dakwaan Irfan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/10/2022).

Padahal, AgustaWestland membuat seri 600 untuk konfigurasi VVIP. Sedangkan seri 500 untuk heli angkut.

Dinas Aeronautika TNI AU lalu mengusulkan pemesanan heli AW-101 untuk kebutuhan pada Desember 2016. Asisten Logistik KSAU M Nurullah memerintah Kepala Dinas Pengadaan (Kadisada) AU Heribertus Hendi Haryoko agar melaksanakan pengadaan heli angkut. Padahal pagu anggarannya masih diblokir.

Agus Supriatna melalui Asrena KSAU mengirim surat ke Menteri Pertahanan tentang penghapusan tanda bintang (*) anggaran pengadaan heli.

Pengadaan heli ini terus berjalan. Dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp 739.186.746.815,30.

Kadisada AU yang baru Fachry Adamy sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menerbitkan surat mengatasnamakan KSAU pada 27 Juli 2016. Isinya menunjuk PT Diratama sebagai penyedia heli angkut. Nilai pengadaan Rp 738,9 miliar.

Selang dua hari, Agus Supriatna melapor ke Menhan mengenai rencana pembelian 1 unit heli AW-101. “Padahal sebenarnya TNI AU telah menyelesaikan proses pengadaan dengan menetapkan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang,” kata jaksa. Kontrak berlaku sejak 29 Juli 2016 sampai 29 Mei 2017.

Pada 25 Agustus 2016, Irfan menagih pembayaran tahap pertama sebesar 60 persen atau Rp 443.340.000.000.

Tagihan itu disetujui Kepala Dinas Aeronautika TNI AU Ignatius Tryandono, agar Pemegang Kas (Pekas) TNI AU membayarnya kepada PT Diratama.

Kepala Pekas Mabes TNI AU, Wisnu Wicaksono mengeluarkan cek senilai Rp 436.689.900.000. Irfan mencairkan di BNI Kantor Cabang Pembantu Mabes TNI AU Cilangkap, Jakarta Timur.

Uang pembayaran itu kemudian dipotong Rp 17.733.600.000 untuk Dana Komando (Dako/DK) kepada Agus Supriatna. Sehingga yang disetorkan ke rekening Diratama Rp 418.956.300.000.

Agus Supriatna lalu memerintahkan menarik Dana Komando secara cash. Dana ini kemudian didepositokan atas nama Dewi Liasaroh.

Pada 14 September 2016, Panglima TNI mengirim surat kepada KSAU agar kontrak dibatalkan. Lantaran bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan Pengadaan serta arahan Presiden.

Namun KSAU Agus Supriatna tidak bersedia membatalkan kontrak. Ia pun menerbitkan disposisi kepada Wakil KSAU, Asrena, Aslog dan Kadisada. Agus menulis, “Ini system APBN 2016 yg sdh hrs dieksekusi & sdh turun DIPA TNI, utk siapkan dokumen2 dlm kesiapan menjawab mslh tsb.”

Agus Supriatna membantah isi dakwaan ini. “Kelihatan ngarang dan asal. Sehingga terlihat betapa tidak profesional serta hanya pesanan kepentingan seorang,” katanya yang dikutip detikcom, Rabu (12/10/2022).

Pahrozi, penasihat hukum Agus menyatakan tidak ada bukti penerimaan Dana Komando. “Yang ada hanya kata-kata ‘diberikan’. Namun tidak ada kalimat sambungannya ‘menerima’ atau Pak Agus menerima gitu,” ujarnya.

“Kalau menyangka orang, menuduh orang ada dugaan menerima, pastikan secara teknis ada transaksi, ada penyerahan uang,” lanjut Pahrozi.

Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai ada beberapa alasan yang membuat Agus berani membangkang perintah Presiden dan Panglima TNI.

Alasan pertama, diduga sudah ada deal lebih dulu dengan Irfan. “Bisa jadi sudah telanjur menerima komisi dari distributor yang sulit dikembalikan,” ujar Fickar.

Alasan lainnya, TNI AU bisa kena denda tinggi jika membatalkan kontrak dengan Diratama. Sebab Diratama sudah memesan 1 unit Heli AW-101 kepada perusahaan AgustaWestland dan membayar booking fee.

Bisa juga karena untuk menghindari anggaran hangus. “Proyek tetap berjalan. Meskipun ada perintah penghentian,” kata Fickar.

Ia menyarankan Agus menjelaskan persoalan ini di persidangan. Apalagi, Agus disebutkan menerima duit Rp 17 miliar. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo