TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Problem Mekanisme Demokrasi

Oleh: Dr. Muhadam Labolo, M.Si
Kamis, 17 November 2022 | 00:02 WIB
Dr. Muhadam Labolo, M.Si.(Dok. Pribadi)
Dr. Muhadam Labolo, M.Si.(Dok. Pribadi)

DEMOKRASI menyediakan sirkulasi kekuasaan secara terjadwal. Sirkulasi didesain sedemikian rupa agar tak hanya representatif, juga akomodatif lewat sejumlah prasyarat yang disepakati. Dengan begitu setiap kandidat punya waktu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dalam sistem otoriter dan monarki margin kekuasaan bergantung pada siapa aktor terkuat. Kekuasaan dapat diakhiri dan diperpanjang tanpa persetujuan pemegang daulat.

Kata Ibnu Taimiyah, penguasa memiliki hak memerintah sampai penguasa lain yang lebih kuat merenggutnya. Agar renggutan kuasa tak menimbulkan petaka dibutuhkan mekanisme yang beradab. Petaka itu tak hanya risiko perjumpaan antarbasis pendukung, juga produk dari sirkulasi itu sendiri. Tentu saja tak ada pemimpin terpilih yang sempurna, namun tak ada salahnya bila mekanisme perlu memperlihatkan kelebihan dan kekurangan para kandidat.

Sebuah pemerintahan betapapun tercelanya, masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Meskipun di antara dua yang dihadapkan jahat, kita wajib memilih yang kurang jahatnya (Ibnu Jama'ah dari Damsyik, 1333 M). Taimiyah menunjukkan bahwa ia seorang realis dibanding idealis. Ia mengakomodir realitas di lingkungan pemerintahan. Ia sadar betul bahwa tak ada pemerintahan yang luput dari sisi gelapnya. Imaji itu seakan dekat dengan kondisi Machiavelli ketika menulis Sang Pangeran (Il Principe).

Taimiyah menyadari bahwa eksistensi pemerintahan adalah keharusan sekalipun bukan esensi utama dalam religi. Pemerintahan adalah refleksi Tuhan di muka bumi. Dengan demikian ia tak lebih sebagai alat bagi upaya menerjemahkan pesan Tuhan bagi makhluknya. Urgensi itu diucapkan lewat perbandingan spekulatif yang populer di kalangan sosiolog hukum, enam puluh tahun di bawah kuasa seorang pemimpin zalim masih lebih baik dari semalam tanpa pemimpin (Taimiyah, 139).

Penegasan itu meyakinkan kita tentang signifikasi pemerintahan. Ia menjadi berarti manakala kekuasaan digunakan untuk tujuan keadilan, persamaan, kemanusiaan, dan pembebasan sebagaimana cita-cita religi (Maarif, 1984). Di atas prinsip itulah pemerintahan dapat dibentuk dalam rupa-rupa warnanya, termasuk ragam metode pemilihan. Semua pilihan itu sangat bergantung pada konsensus manusianya. Satu yang pasti, pemerintahan wajib adanya.

Tanpa pemerintahan, sarana pembumian perintah Tuhan mustahil dilakukan dengan efektif. Lewat tangan pemerintah misi ketuhanan dapat berjalan dengan baik, terlepas sistem dan mekanismenya. Misi Tuhan ibarat air yang ditumpahkan ke dalam gelas. Gelas cerminan negara dalam mengakomodir keluhan dahaga. Semakin akomodatif semakin baik pilihan sistem dan mekanisme pemerintahan. Di situ pentingnya wadah bagi spiritualitas.

Setiap pilihan sistem dan mekanisme mengandung kelemahan. Demokrasi misalnya, bukan tanpa masalah. Namun dalam kelemahan itu pula demokrasi punya kelebihan yang patut dibanggakan, sejauh ia luput dari pembajakan atas nama rakyat. Andai saja sistem dan mekanisme demokrasi itu mampu didesain dan dipraktikan dengan jujur, produknya mudah melahirkan pemimpin tanpa ongkos berlebihan, tanpa sarat korupsi, bahkan tanpa ekses yang tak diperlukan.

Sampai di sini kita bisa memahami mengapa demokrasi seringkali mengalami kemacetan di tengah keinginan kita meninggalkan kediktatoran dan otoritarianisme. Pilihan mekanisme demokrasi yang keliru rupanya tak hanya mengancam soal-soal teknis seperti ongkos dan durasi yang panjang lagi melelahkan. Lebih dari itu berpotensi mencederai kohesivitas berbangsa, menggoda integritas kepemimpinan, serta memperbesar kesumat anak bangsa di setiap periode.

Semua produk mekanisme itu mudah ditemukan lewat data KPU & BPS. Kita butuh Rp 76,6 triliun untuk pesta serentak yang kian tak efisien, ada 450 pemimpin daerah masuk buih sejak pilkada langsung, serta ratusan jiwa tewas akibat militansi suksesi. Paralel dengan itu, kemiskinan menanjak 26,16 juta, pengangguran mencapai 5,83 persen, kualitas kesehatan menurun ditandai gizi buruk (stunting), bahkan angka pendidikan dan literasi terjun bebas secara akumulatif (59,52). Tepat kiranya sebelum terlambat, Wantimpres menyarankan perlunya perubahan mekanisme demokrasi di masa mendatang.(*)

 

*) Penulis adalah analis pada Pusat Kajian Strategis Pemerintahan Jakarta

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo