TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Sri Mulyani Bicara Ancaman Resesi, RI Nggak Bakal Seperti Sri Lanka

Oleh: SIS/AY
Kamis, 14 Juli 2022 | 11:35 WIB
Sri Mulyani Menteri Keuangan. (Ist)
Sri Mulyani Menteri Keuangan. (Ist)

JAKARTA - Krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka hingga membuat negara tersebut bangkrut, jadi kekhawatiran dunia. Di dalam negeri, kalangan oposisi bahkan paling kencang menggoreng isu yang terjadi di Sri Lanka akan menular ke sini.

Namun, kekhawatiran itu ditepis Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Menkeu menjamin RI nggak bakal seperti Sri Lanka. Syukurlah...

Usai Sri Lanka dinyatakan bangkrut dan mengalami goncangan politik yang begitu dahsyat, dunia kini dilanda kekhawatiran besar. PBB juga sudah merilis laporan bertajuk Crisis Response Group bulan lalu. Laporan itu menyebutkan, lebih dari separuh negara termiskin di dunia terlilit utang dan berisiko tinggi dalam kesulitan dan bangkrut seperti Sri Lanka.

Ada 10 negara yang diramal PBB berpotensi bangkrut karena kondisi ekonominya sedang sakit. Untungnya, dari 10 negara yang berpotensi bangkrut itu, tidak ada nama Indonesia.

Namun, survei yang dirilis Bloomberg baru-baru ini, membawa kabar yang tidak baik bagi Indonesia. Dari daftar 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi ekonomi, Indonesia masuk di dalamnya dan berada di peringkat 14 dengan persentase 3 persen.

Sementara itu, Sri Lanka berada di posisi pertama dengan persentase 85 persen, Selandia Baru 33 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 25 persen, China 20 persen, Hong Kong 20 persen.

Selanjutnya, Australia 20 persen, Taiwan 20 persen, Pakistan 20 persen, Malaysia 13 persen, Vietnam 10 persen, Thailand 10 persen, Filipina 8 persen, Indonesia 3 persen, dan India 0 persen.

Menanggapi ancaman resesi itu, Sri Mul menanggapinya dengan santai. Menurutnya, potensi resesi tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Apalagi, angkanya masih di level 3 persen. Kecuali jika kondisinya sudah di atas 70 persen. Sebagaimana Sri Lanka yang potensi resesinya sudah menembus 85 persen.

"Saya paham, anda akan menanyakan itu terus-menerus. Saya rasa, sebaiknya media melihat saja faktual mengenai tadi, background setiap negara," kata Sri Mul, saat konferensi pers rangkaian Jalur Keuangan G20 di Nusa Dua, Bali, kemarin.

Background setiap negara, sebut Sri Mul, bisa dilihat dari sisi kinerja pertumbuhan ekonomi, kinerja inflasi, neraca pembayaran, kinerja APBN, kinerja kebijakan moneter, inflasi nilai tukar, kinerja korporasi, hingga kinerja dari kondisi rumah tangga.

"Apakah konsumsinya naik, segala macam," sambungnya.

Meskipun kondisi ekonomi RI tidak mengkhawatirkan, Sri Mul tetap mewanti-wanti semua pemangku kepentingan agar tidak terlena. Pemerintah akan tetap menggunakan semua instrumen kebijakan, baik itu fiscal policy, monetary policy, OJK di finance sector dan juga regulasi yang lain, untuk terus memonitor situasi ekonomi tersebut.

Menurutnya, ekonomi sejumlah negara memang sedang tertekan saat ini. Selain diakibatkan pandemi Covid-19 yang masih belum diketahui kapan akan berakhir, dipukul kembali oleh situasi geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina. Akibatnya, inflasi, krisis pangan dan energi terjadi di mana-mana.

Namun, Sri Mul memastikan, APBN masih cukup kuat untuk menjadi bantalan atas goncangan tersebut.

"Kalian bicara inflasi, sebagai salah satu trigger. Inflasi kan kenaikan harga. Indonesia ya juga mengalami tekanan inflasi. Kemarin cabe merah naik, dan segala macam," Sri Mul kasih contoh.

Merespons kondisi itu, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini bilang, pemerintah menyiapkan langkah-langkah untuk bisa menahan inflasi tersebut. Ia mencontohkan harga listrik, BBM yang di tingkat global mengalami kenaikan.

"Setiap negara yang harganya beda dengan harga internasional, pasti mereka kasih subsidi. Persoalannya, negaranya masih punya kemampuan kasih subsidi atau enggak? Maka, kelihatan nanti APBN nya," tutur Sri Mul.

"Ada negara lain yang tidak mampu kasih subsidi, ya berarti rakyatnya harus bayar harga itu," sambungnya.

Lalu bagaimana kondisi Indonesia? Apakah APBN masih cukup kuat untuk menanggung subsidi, untuk menahan goncangan inflasi pangan dan energi global saat ini?

"Kebetulan APBN punya kemampuan," jawab Sri Mul.

Namun, ia belum bisa memberikan gambaran bagaimana kondisi APBN di 2023. Karena, selain harus bisa menghitung potensi inflasi tahun depan juga harus menunggu RUU APBN 2023 terlebih dahulu.

Makanya, Sri Mul heran kalau sekarang ini sudah banyak yang komen soal APBN 2023.

"Wong Menteri Keuangannya aja belum bikin Undang-Undangnya, kayaknya sudah tahu banget Undang-Undang itu, saya kagum juga sih sebetulnya," selorohnya.

Sri Mul juga memastikan APBN terus menjadi instrumen untuk menjaga keseimbangan antara menjaga rakyat, ekonomi dan kesehatan APBN itu sendiri.

Seperti saat dihantam pandemi Covid-19, maka negara melalui APBN menggelontorkan anggaran untuk memberi perlindungan kesehatan, baik itu vaksinasi maupun perawatan di rumah sawit.

"Rakyat sekarang diguncang oleh inflasi, kita coba jadi bantalan untuk inflasi. Korporasi sudah mulai bangkit, beberapa sektor masih ketinggalan, kita coba bantu untuk mereka bangkit. APBN sendiri harus juga tetap sehat," pungkasnya.

Direktur eksekutif dari lembaga Center of Reform on Economics, CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengamini pernyataan Sri Mul. Kata dia, kemungkinan Indonesia mengalami seperti Sri Lanka masih sangat jauh, jika dilihat dari berbagai indikator.

"Untuk resesi, saya rasa masih jauh, tapi yang mungkin terjadi peningkatan risiko berupa melambat atau tertahannya pertumbuhan ekonomi jika kondisi ini terus terjadi," katanya.

Indikator pertama adalah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi di Indonesia 3,19 persen di periode Januari-Juni 2022. Angka itu, timpang secara drastis dengan inflasi di Sri Lanka yang sudah mencapai 50 persen, bahkan disebut berpotensi mencapai 80 persen.

"Kondisi inflasi Indonesia masih sangat moderat dibandingkan Sri Lanka," kata Faisal.

Indikator kedua adalah neraca perdagangan Indonesia yang surplus karena topangan komoditas yang harganya kini meningkat, yaitu batu bara dan kelapa sawit. Sebaliknya, Sri Lanka itu net-importer energi, sehingga ketika mengalami peningkatan luar biasa harganya di internasional, mereka yang paling terpukul dibandingkan negara seperti Indonesia.

Tak hanya itu, Faisal bilang, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih positif, yaitu 5,01 persen pada kuartal I tahun 2022. Begitupun dengan rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto atau PDB masih di bawah 40 persen atau masuk dalam kategori relatif aman.

Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno meyakini kondisi ekonomi Indonesia masih aman, tapi tetap harus mengedepankan kehati-hatian. Tidak boleh ugal-ugalan.

"Indonesia beruntung tidak memiliki kerawanan ini. Negara yang memiliki salah satu kondisi itu, maka besar potensi untuk bangkrut. Setelah Sri Lanka, mungkin akan menyusul Mesir, Turki, Pakistan dan Lebanon," ramal politisi PDIP ini.

Soal utang Indonesia, kata dia, juga masih relatif aman, yakni di angka 40 persen dari PDB. Masih di bawah ambang batas yang diatur dalam UU Keuangan Negara yakni 60 persen dari PDB. Sementara Sri Lanka, rasio utang terhadap PDB tembus di atas 107 persen dengan tingkat inflasi sekitar 54,6 persen pada Juni lalu.

Hendrawan melihat kondisi APBN masih relatif sehat. Meskipun pihak oposisi kerap menyoroti defisit neraca berjalan dan lainnya.

"Tapi kalau neraca pembayaran kita belum defisit, karena pembiayaan asing belum lari dari kita," tuturnya.

Dari analisis itu, ia sepakat dengan Sri Mul bahwa Indonesia nggak bakal seperti Sri Lanka.

"Ketergantungan eksternal kita rendah, tapi manajemen tetap harus prudent dan hati-hati," warningnya. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo