TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

BBM Naik, Pamor Jokowi Turun Dikit

Laporan: AY
Senin, 19 September 2022 | 08:54 WIB
Presiden Jokowi. (Ist)
Presiden Jokowi. (Ist)

JAKARTA - Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi bikin pamor Presiden Jokowi turun. Namun, turunnya hanya sedikit. Kepuasan publik ke Jokowi masih di atas aman.

Dari hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia (IPI), diketahui kepuasan publik terhadap Jokowi tinggal 62 persen atau turun 10 persen dibanding sebelum kenaikan BBM yang bertengger di angka 72 persen.

Survei IPI ini digelar pada 5-10 September 2022, atau 2 hari setelah Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi. Survei melibatkan 1.215  responden yang dipilih melalui metode memilih sampel nomor telepon secara acak.

Ambang batas kesalahan survei plus-minus 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei ini mencakup, antara lain tanggapan publik mengenai kebijakan menaikkan harga BBM serta dampaknya terhadap pamor Jokowi.

Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, kebijakan menaikkan harga BBM membawa pengaruh pada kepuasan rakyat terhadap Jokowi. Di Agustus, pamor Jokowi berada di angka 72,3 persen.

Padahal, di Agustus kemarin, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi baru pulih setelah anjlok di April dan Mei, gara-gara kelangkaan minyak goreng. 

Namun, angka 72,3 persen itu, langsung jatuh lagi setelah pemerintah menaikkan harga BBM. Di September, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi tinggal 62,6 persen, atau turun sekitar 10 persen.

"Jadi, efeknya terhadap tren approval rating Presiden cukup lumayan kurang lebih 10 persen," kata Burhan, saat menyampaikan hasil survei IPI secara online, kemarin.

Burhan menyebut, penurunan pamor Jokowi ini bersamaan dengan penolakan publik terhadap kenaikan harga BBM, dan kondisi perekonomian yang masih memburuk.

Burhan memberikan dua catatan menarik soal kebijakan ini. Kata dia, meski efek kenaikan harga BBM ini cukup lumayan, Jokowi cukup cerdik melakukan kebijakan yang tidak populer itu di saat pamornya masih tinggi, yaitu 72 persen. Karena sedang tinggi-tingginya, dampak penurunan kepuasan publik tidak anjlok sampai di bawah 50 persen.

"Kalau di bawah 50 persen, itu alarm. Sudah bahaya. Sekarang masih di atas 60 persen," ucapnya.

Berbeda misalnya jika kebijakan yang tidak menyenangkan banyak orang ini dilakukan di Mei. Saat itu, tingkat kepuasan publik kepada presiden hanya 50 persen. Otomatis jika dilakukan bulan Mei, tingkat kepuasan akan turun di bawah 50 persen.

"Di bawah 50 persen sudah bahaya," ujarnya. 

Catatan lain, kebijakan menaikkan harga BBM dilakukan jauh sebelum pemilu. Bayangkan jika APBN jebol tahun depan atau setahun sebelum pemilu, dan tidak ada pilihan lain selain menaikkan harga BBM.

Apa dampaknya? Kata dia, kemungkinan soliditas koalisi akan terganggu. Karena mendekati pemilu, mungkin saja parpol koalisi tidak mau menjadi bagian dari pemerintah yang mendapat penilaian buruk dari publik. Namun, yang jadi pertanyaan, kata Burhan, apakah Jokowi mampu untuk kembali menaikkan approval rating setelah mendapatkan keleluasaan mengalihkan kebijakan yang tepat sasaran?

"Atau justru penurunan terus berlanjut?" tanya Burhan.

Dari survei ini juga diketahui, sebanyak 71 persen responden tidak setuju dengan kenaikan harga BBM. Paling banyak yang tidak setuju adalah kaum perempuan dengan angka 81,4 persen, ketimbang laki-laki yang hanya 67,2 persen.

"Mungkin uang belanja tidak bertambah, tapi inflasi harga naik. Jadi sebagian rumah tangga nggak setuju," kata Burhan. 

Menariknya, dari segi basis pendukung pada saat Pemilu 2019, pendukung Jokowi maupun Prabowo tidak setuju dengan kenaikan BBM. Sebanyak 63 persen pendukung Jokowi tidak setuju, dan pemilih Prabowo lebih besar lagi yaitu 89,7 persen. 

Politisi PKS Mardani Ali Sera yang hadir menanggapi survei tersebut, mengaku tak kaget mengetahui hasil survei yang menunjukkan pamor Jokowi anjlok menjadi tinggal 62 persen. Kata dia, tingkat kepuasan terhadap Jokowi ini termasuk terjun payung.

"Ini berbahaya," kata Mardani. 

Ketua DPP PKS ini mengatakan, wajar publik menolak kenaikan harga BBM. Kata dia, pandemi Covid-19 memunculkan banyak orang miskin baru yang tidak terdaftar dalam DTKS (Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial). Contohnya adalah para pengemudi ojek online dan pelaku UMKM. 

Menurutnya, bagi kalangan ini, kenaikan harga BBM tentu menambah beban hidup semakin berat. Soalnya, bukan hanya ongkos transportasi yang naik, tapi juga berbagai kebutuhan pokok.

"Bagi masyarakat, kenaikan harga BBM ini menyengsarakan," ujarnya.

Sementara itu, politisi PDIP Adian Napitupulu yang juga hadir dalam rilis survei IPI ini, tak risau dengan pamor Jokowi yang tinggal 62 persen. Menurut dia, angka ini masih jauh lebih bagus dibanding masa pemerintahan SBY di 2013. Kata dia, dalam sebuah survei, tingkat kepuasan publik terhadap SBY tinggal 55 persen.

"Artinya, bahwa di periode menjelang akhir masa jabatan, kalau kita bandingkan periode SBY dengan Jokowi, di tengah naiknya harga BBM, ini saya lihat masih lebih tinggi Jokowi," kata Adian.

Adian menyinggung soal kenaikan BBM di era SBY. Dia menyebut harga BBM naik hingga 254 persen selama SBY menjabat presiden. Jika dilihat dari jumlah kenaikan, harga BBM meningkat Rp 4.690 dalam 10 tahun kepemimpinan SBY.

Adian membandingkan angka itu dengan kenaikan harga BBM di era Jokowi yang berada di angka 54 persen atau Rp 3.500.

"Secara angka, masih lebih mahal kenaikan BBM secara total di pemerintahan SBY sebesar Rp 1.190 dibandingkan zaman Jokowi," ujarnya. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo