MK Temukan Politik Uang 1 Suara Dihargai Rp 16 Juta

JAKARTA - Politik uang di Pilkada makin menggila. Mahkamah Konstitusi (MK) menemukan satu suara pemilih dihargai Rp 16 juta.
Hal ini terungkap saat MK menggelar Sidang Gugatan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Barito Utara di Gedung MK, Rabu (14/5/2025).
MK mendiskualifikasi dua pasang Calon Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara.
“Menyatakan diskualifikasi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 1 dan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 dari kepesertaan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Tahun 2024,” kata Ketua MK Suhartoyo, Rabu (14/5/2025).
Untuk diketahui, Pilkada Barito Utara 2024 diisi oleh dua pasang calon. Pasangan nomor urut 1 diisi Gogo Purman Jaga dan Hendro Nakalelo. Sedangkan nomor urut 2 diisi oleh Akhmad Gunadi dan Nadalsyah.
Dalam persidangan, MK menemukan kedua paslon berani jor-joran membeli suara dengan nilai fantastis. Paslon nomor urut 2 misalnya, berani membeli suara Rp 16 juta per orang. Sedangkan, nomor urut 2 sebesar Rp 6,5 juta per orang plus janji diberangkatkan umrah.
MK menyatakan perbuatan kedua paslon telah merusak integritas pesta demokrasi di Indonesia. Karena itu, MK menyatakan tidak ada keraguan dalam mendiskualifikasi keduanya dalam Pilkada Barito Utara 2024. MK juga memerintahkan untuk kembali melakukan PSU di Pilkada Barito Utara 2024. PSU digelar maksimal 90 hari sejak putusan MK dibacakan.
Ketua MK Suhartoyo menilai, politik uang di kasus ini sudah kebablasan.
Kasus ini kemudian jadi buah bibir. Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengapresiasi putusan MK yang tegas dan jelas. Namun, temuan ini menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilu untuk membuat mekanisme yang menekan politik uang.
Mardani menilai perlu segera merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Dengan begitu, siapapun yang melakukan politik uang akan merasakan efek jera. Aturan yang akan dibuat juga harus memudahkan pelaporan politik uang.
Politisi PKS ini merasa, uang sebesar Rp 16 juta rupiah untuk satu suara tidak lagi diterima akal sehat. “Sudah tidak rasional. Biasanya ada bandarnya. Mesti ada tim Bawaslu yang menelusuri aliran uangnya,” pungkas Mardani.
Senada dikatakan, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal. Dia mendukung putusan MK yang mendiskualifikasi pemohon. Fenomena ini menunjukkan ada persoalan yang sangat mendasar terkait pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu, khususnya politik uang.
Dia menyoroti pengawasan yang dilakukan penyelenggara pemilu tidak berjalan dengan baik. Alhasil, praktik seperti ini akan terus terjadi, sehingga mendegradasi nilai dan prinsip pelaksaan pemilu yang demokratis, jujur, dan adil.
“Setahu saya, jumlah vote buying di Barito Utara menjadi yang terbesar untuk pembelian suara per orang, karena mencapai belasan juta rupiah,” akunya.
Menurut Haykal, fenomena ini menjadi bukti bahwa politik uang masih dijadikan senjata utama untuk menggaet suara pemilih. Meski sebenarnya calon mengetahui bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum.
Haykal masih optimis, demokrasi di negeri ini bisa dilaksanakan dengan murah. Caranya dengan komitmen bersama dari partai politik, pasangan calon, penyelenggara pemilu, dan masyarakat.
Pos Banten | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 4 jam yang lalu
Ekonomi Bisnis | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu