TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Kebijakan Kenaikan Pajak Daerah Jangan Bikin Gaduh

Reporter: Farhan
Editor: AY
Rabu, 20 Agustus 2025 | 12:01 WIB
Wamenko Polkam Lodewijk Freidrich Paulus. Foto : Ist
Wamenko Polkam Lodewijk Freidrich Paulus. Foto : Ist

JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) mengingatkan daerah tidak membuat kebijakan yang memicu kegaduhan publik. Setiap kebijakan harus sejalan dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto.

 

“Semua sudah diputuskan Presiden. Jangan membuat ke­bijakan yang menimbulkan kegaduhan,” kata Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Wamenko Polkam) Lodewijk Freidrich Paulus di Jakarta, Selasa (19/8/2025).

 

Peringatan ini disampaikan menyusul polemik di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ter­kait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen yang memicu protes warga. Kasus serupa juga ter­jadi di Cirebon, Bone, bahkan Jombang dengan kenaikan men­capai 1.200 persen.

 

Menurut Lodewijk, kewenangan penetapan pajak me­mang berada di tangan DPRD dan Pemerintah Kabupaten/ Kota. Namun, Kemenko Polkam terus melakukan pemantauan harian terhadap kebijakan dae­rah.

 

“Kami ingatkan supaya hati-hati. Kalau salah ambil kebi­jakan, akibatnya bisa gaduh,” ujarnya.

 

Sebelumnya, Bupati Pati Sadewo Tri Lastiono didemo warganya lantaran menaik­kan tarif PBB-P2 sebesar 250 persen. Ternyata, kenaikan tersebut tidak hanya terjadi di Pati, ada beberapa daerah seperti Cirebon dan Bone yang juga menerapkan hal serupa. Bahkan, di Jombang naik hingga 1.200 persen.

 

Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza me­nilai, kenaikan PBB-P2 yang terlalu tinggi berpotensi menjadi jalan pintas Pemerintah Daerah menambah Pendapatant Asli Daerah (PAD).

 

“Sejumlah daerah menaik­kan PBB-P2 secara fantastis mulai dari 250 persen hingga 1.200 persen. Beberapa daerah berdalih kenaikan ini bagian dari penyesuaian peraturan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD),” jelas Handi.

 

Menurutnya, PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/ atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi maupun badan, dengan pengecualian lahan untuk usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

 

Bumi diartikan sebagai per­mukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.

 

Celah regulasi dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) memungkinkan pene­tapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setiap tahun oleh kepala daerah.

 

Menurut Handi, kebijakan tersebut menimbulkan risiko tax shock yang dapat menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan.

 

Selain mengganggu daya beli, kebijakan ini bisa memicu re­sistensi publik berupa protes, tunggakan pembayaran, gejolak sosial, hingga gugatan hukum terhadap NJOP yang dinilai memberatkan. Dalam jangka menengah, iklim investasi properti dan sektor konstruksi pun bisa melemah, apalagi jika tidak diimbangi perbaikan layanan publik.

 

Risiko yang lebih serius adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemer­intah daerah ketika pajak naik tanpa transparansi penggunaan. Akibatnya, kepatuhan pajak bisa menurun secara sistemik dan mempersulit pencapaian target pendapatan di masa depan,” tegas Handi.

 

Karena itu, sebaiknya, semua pihak mengedepankan solusi.

 

Kami mengajak semua pihak menahan diri dan membicara­kan persoalan ini dengan bijak dan solutif. DPRD, Pemda dan Pemerintah Pusat harus mencari jalan keluar terbaik. Menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat luas harus menjadi fokus utama dalam pengambilan kebijakan,” pungkasnya.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit