TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Mengembalikan Muruah Negara

Oleh: Prof. Dr. Muhadam Labolo
Editor: Ari Supriadi
Senin, 01 September 2025 | 10:43 WIB
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri.(Dok. Pribadi)
Prof. Dr. Muhadam Labolo, Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri.(Dok. Pribadi)

HARI-hari ini eksistensi negara dipersoalkan. Dipersoalkan dalam banyak hal. Mulai pajak hingga integritas para wakil rakyat. Kanalisasi tumpah meluber ke jalanan akibat saluran formal pemerintah mengalami kemacetan. Para wakil rakyat tak lagi menjadi representasi kecuali simbol kesenjangan antara kaum borju dan papa. Antara minoritas tolol dan mayoritas terzalimi.

 

Negara mengalami semacam jet lag. Gejala mabuk pasca terbang lama. Pilihannya antara menenangkan lewat peluru atau merelaksasi melalui mufakat. Negara bukan kali ini punya pengalaman didera amuk massa. Tahun 1966, 1974, dan 1998. Sejauh negara mampu belajar dari pengalaman, stabilitas dapat dipulihkan tanpa menanti korban berkepanjangan.

 

Kita butuh negara untuk mencapai tujuan kolektif yang sulit dipenuhi secara individual. Tanpa negara kata Hobbes dalam karya klasik Leviathan (1651), manusia pesimis mengatur dirinya dengan sifat soliter, kejam dan selfisis. Pada titik tanpa kendali manusia cenderung menjadi serigala bagi yang lain (homo homini lupus).

 

Agar negara tak kembali ke dalam sifat alaminya (natural of state), pemerintah sebagai personifikasi konkret darinya perlu upaya agar chaos tak mencapai situasi di mana semua melawan semua (bellum contra omnes). Kondisi ini dicirikan oleh hilangnya rasa aman, munculnya serangan antar kelompok dan penjarahan yang mengesankan hukum tak berfungsi (lawless).

 

Kita butuh sosok kepemimpinan dari supra dan infrastruktur yang menjembatani. Syaratnya mereka punya integritas yang dapat diterima bersama. Bukan anak kemarin yang tak punya pengalaman. Apalagi pencari momen di tengah emosi massa. Kita butuh sedikit negarawan (statemanship). Bukan penerima bintang tanpa bintang di tengah masyarakat.

 

Mereka harus berakar. Punya rekam jejak integritas yang kuat. Bukan rezim lama yang padat masalah. Termasuk para pemodal dan penjual agama demi mencari peluang untung rugi dalam penderitaan negara-rakyat. Dengan syarat itu kita ingin melahirkan kepercayaan baru (trust) sebagai tambang pengikat antara yang memerintah dan yang diperintah.

 

Esensi penting bernegara kata Ndraha (2002) adalah janji (promised). Janji dipenuhi mencipta relasi asosiatif yang kuat. Sebaliknya, janji dikhianati melahirkan hubungan dissosiatif yang pada waktu tertentu membentuk antipati. Peristiwa pembakaran rumah-fasum, penjarahan, dan perusakan properti kaum elit dapat dibaca sebagai menipisnya kepercayaan dan merenggangnya hubungan.

 

Untuk menormalisasi marwah negara sediakala, semua janji sebaiknya ditunaikan. Pajak diturunkan, perilaku elit ditata, kebijakan didesain ulang, korupsi diberantas, serta reshuffle untuk me-refresh cara kerja dengan energi baru yang menyalakan. Menyalakan harapan yang hampir mati atau setidaknya menyalakan pelita sebagai penuntun yang hampir padam.

 

Kita memang tak berharap sempurna untuk memperbaiki keadaan. Tapi kita bisa membangun harapan baru dengan tindakan nyata. Tindakan itu sebaiknya dilakukan dengan niat tulus, bukan sekedar pemanis buatan. Di seberang itu, kita butuh kesadaran kolektif untuk menaruh kepercayaan pada apa yang sedang dan akan dilakukan negara. Tanpa itu kita hanya menaruh curiga dan menabuh genderang perang.

 

Akhirnya, meski negara punya segalanya, namun ia bukan Tuhan yang lepas dari segenap kelemahan. Andai semua malaikat, kita mungkin tak butuh pemerintahan, kata pendiri dan eks Presiden ke-4 USA, James Madison (1809-1817). Dalam konteks ini, ia setidaknya menjadi harapan terakhir bagi setiap kebaikan ideal yang ingin kita ditambatkan. Disitulah negara kita butuhkan, bukan sumber dari segala sumber masalah.(*)

 

Penulis merupakan Ketua Harian Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)

Komentar:
ePaper Edisi 01 September 2025
Berita Populer
01
Bhayangkara FC Kalahkan Persis Solo 2-0

Olahraga | 2 hari yang lalu

02
Beredar Pesan Rencana Demonstrasi

TangselCity | 5 jam yang lalu

03
PSBS Biak Vs Persik, Tuan Rumah Kalah 1-2

Olahraga | 2 hari yang lalu

04
Inter Milan Makin Gahar

Olahraga | 1 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit