Kualitas BBM Pertamina Teruji, Isu Bikin Brebet Tak Berdasar
SERPONG - Sejak kasus “oplosan” (faktanya: blending) dan dugaan korupsi impor BBM menggelinding, BUMN Pertamina tak hentinya disudutkan. Bahkan, hingga produk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di SPBU pun digeruduk akibat motor “mbrebet”. Rangkaian peristiwa ini seolah sambung-menyambung dengan kebijakan kuota impor BBM yang ditetapkan pemerintah
Kenapa demikian? Sebab, kebijakan kuota impor BBM swasta tidak ditambah dan diwajibkan membeli BBM murni (base fuel) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina. Perlu digarisbawahi bahwa kuota impor BBM merupakan kewenangan pemerintah, bukan Pertamina.
Sejak kasus BBM jenis Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dituduh sebagai penyebab sepeda motor mbrebet, maka ditudinglah produk BBM hasil olahan Pertamina tidak berkualitas. Tuduhan tanpa bukti ini mengabaikan bahwa proses produksi minyak mentah (crude oil) di berbagai kilang Pertamina diawasi dan dijaga ketat standar kualitasnya. Proses produksi tersebut tidak hanya harus memenuhi standar kualitas internasional, baik dari bahan baku maupun proses pengolahan minyak mentah menjadi berbagai jenis BBM dan produk turunannya melalui uji laboratorium.
Tanpa standar kualitas produksi dan produk BBM yang memenuhi kualifikasi pasar internasional, tidak mungkin PT Pertamina memperoleh berbagai penghargaan (awards). Dasar pengakuan internasional atas produk BBM yang diolah oleh anak usaha Pertamina (subholding) PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menjadi bukti bahwa produk BBM dihasilkan melalui proses produksi yang runut (by processing). Artinya, bukan dihasilkan melalui proses campur-campur di luar proses produksi kilang, seperti yang selama ini diisukan oleh beberapa pihak di media sosial secara masif.
Apalagi, BUMN adalah pemegang mandat konstitusi Pasal 33 UUD 1945, yang sangat berbeda dengan korporasi swasta yang semata-mata mencari laba atau keuntungan.
Oleh karena itu, publik tidak bisa melakukan berbagai bingkai persepsi (framing) terhadap Pertamina jika hal itu didasari oleh kebijakan kuota Kementerian ESDM. Sebab, kasus korupsi impor BBM yang diselidiki oleh aparat penegak hukum, yakni Kejaksaan Agung (Kejagung), merupakan tindak kejahatan di satu sisi. Kasus korupsi ini tidak bisa digebyah uyah menjadi “kemarahan” yang ditumpahkan seolah-olah keseluruhan entitas usaha Pertamina bersalah.
Terlebih, di waktu yang bersamaan, tidak adanya tambahan kuota impor BBM menjadi momentum yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk menyudutkan citra Pertamina. Atau dengan kata lain, buruknya kuota impor BBM menjadi cermin Pertamina yang dibelah.
Di sisi lain, SPBU sebagai penyalur BBM produk Pertamina tidak seluruhnya dikuasai atau dioperasikan langsung oleh Pertamina. Sebagian besar dari 13.603 unit SPBU, menurut data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM (Ditjen Migas KESDM) per triwulan I/2025, justru dikelola oleh mitra Pertamina yang merupakan pihak swasta. Hanya sekitar 4 persen yang dikelola langsung oleh anak usaha (subholding C&T) PT Pertamina Patra Niaga (PPN).
Dengan demikian, di sektor hilir perdagangan BBM, Pertamina tidak menguasai pasar SPBU secara monopolistik seperti yang sering dipersepsikan oleh pesaingnya. Last but not least, penyebab lain motor mbrebet sangat dimungkinkan akibat kelalaian dalam perawatan kendaraan dari konsumen BBM itu sendiri.
Oleh: Defiyan Cori
Penulis adalah Ekonom Konstitusi
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Selebritis | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu


