TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Membaca Ulang Al-Qur’an

Rahasia Pengulangan Iqra'

Oleh: Prof. KH. Nazaruddin Umar
Jumat, 31 Maret 2023 | 08:33 WIB
Prof. KH. Nazaruddin Umar
Prof. KH. Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Perintah pertama Jibril kepada Nabi Muhammad SAW ialah “bacalah!” (iqra’). Jibril mengulangi kata itu dua kali, tetapi Nabi menjabat “saya tidak bisa membaca” (ma ana bi qari’) lalu Jibril melanjutkan: Iqra’ bismi Rabbik (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu).

Tidak banyak orang memahami makna iqra’ pertama sampai iqra’ ke empat dalam surah yang pertama diturunkan itu. Rasanya tidak mungkin sosok Jibil mubazir kata-kata (redandance).

Satu titik pun dalam Al-Qur'an sangat penting artinya, apa lagi dengan tiga kata perintah (fi'il amr). Kita juga belum menemukan penjelasan mendalam apa arti jawaban Nabi Muhammad: Ma ana bi qari'. Hanya sering dijelaskan Nabi sebagai orang yang buta huruf tentu tidak bisa membaca.

Kalangan ulama Tafsir Isyari menjelaskan bahwa pengulangan perintah Jibril kepada Nabi memiliki makna bertingkat (maratib), sesuai dengan tingkat kesadaran manusia, yaitu kesadaran sensorial, kesadaran imaginal, kesadaran intelektual, dan kesadaran spiritual.

Makna Iqra’ pertama bisa dihubungkan dengan kesadaran pertama yang levelnya bagaimana memahami bacaan (how to read) terhadap kalimat-kalimat suci Al-Qur'an. Iqra' kedua dihubungkan dengan kesadaran kedua, yaitu kesadaran imaginal (how to learn atau think) terhadap kata demi kata dan ayat demi ayat Al-Qur'an.

Iqra ketiga dihubungkan dengan kesadaran intelektual (how to understand) terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Iqra' keempat dihubungkan dengan kesadaran keempat dihubungkan dengan kesadaran spiritual (How to meditate) terhadap kandungan suci Al-Qur'an. Sesungguhnya masih ada satu Iqra' (4) dalam ayat Iqra' wa Rabbuk al-Akram (Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah/Q.S. al-’Alaq/96:3), yang dapat dihubungkan dengan how to disclosure.

Kesadaran terakhir ini mungkin bisa disebut para auliya' dengan mukasyafah atu penyingkapan. Uraian lebih lanjut mengenai tingkatan dan realitas masing-masing Iqra' tersebut akan diuraikan dalam pembahasan mendatang..

Mengenai jawaban Nabi: Ma ana bi qari' menarik juga untuk dianalisis. Sebagian ulama mempertahankan asumsi bahwa arti ma ana biqari' dari Nabi sebagai ungkapan jujur dari Nabi Muhammad SAW sebagai seorang yang buta huruf Al-Qur'an.

Secara semantik, kata qara'a yang kemudian membentuk qari' dan al-Qur'an, saat turunnya Al-Qur'an diartikan sebagai "membaca kitab suci".

Nabi mengatakan ma ana bi qari' bukan berarti Nabi tidak bisa membaca alias buta huruf. Akan tetapi dimaksudkan sebagai: Ma ana bi qari' yakni "aku bukan bangsa pembaca Kitab Suci". Sejak awal, Jazirah Arab tidak pernah mendapatkan Kitab Suci dari Allah SWT.

Masyarakat pembaca Kitab ada di sekitar Palestina, di mana Kitab Taurat dan Kitab Injil diturunkan. Membaca sesuatu selain kitab suci dalam tradisi masyarakat Arab dikenal beberapa istilah, antara lain kata tala-yatlu, digunakan pada saat membaca manuskrip (makhthuthat), membaca syair, dan lain-lain.

Ide untuk mempertahankan Nabi Muhammad buta huruf terutama dimaksudkan untuk menghindarkan kesan bahwa Al-Qur'an tidak lain adalah buatan manusia. Akan tetapi jika Nabinya tidak bisa membaca dan menulis, maka sudah barang tentu Al-Qur'an dapat diterima di dalam masyarakat setempat.

Jika Nabi Muhammad ternyata bisa membaca dan bisa menulis dikhawatirkan muncul tuduhan Al-Qur'an karangan Nabi Muhammad SAW. Sama dengan asumsi dalam dalam agama Nasrani mempertahankan asumsi keperawanan Marya, karena kapan ketahuan Marya tidak perawan maka bisa menggugurkan ketuhanan Yesus Kristus.

Banyak bukti sejarah mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW bisa membaca dan menulis, antara lain dalam kitab Ibn Hajar Al-'Asqallani dalam Fath al-Bari, ketika menjelaskan hadis penulisan naskah Perjanjian Hudaibiyyah, Nabi terlibat langsung dalam pencoretan sejumlah kata dalam perjanjian itu.

Lagi pula, rasanya sulit diterima akal sehat, jika seorang manusia super cerdas seperti Nabi Muhammad SAW tidak bisa membaca dan menulis. Bukankah sebelum menjadi Nabi beliau seorang pedagang yang sering ke luar negeri, khususnya Syam dan Yaman?

Bagaimana mungkin sosok figur yang bercokol di antara hanya 100 Tokoh terbaik yang pernah kahir di bumi ini, sebagaimana ditulis Michel Hart, atau The Top 11th manusia terbaik sebagai pencipta sejarah monumental menurut Thoman Carlile, yang juga menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan teratas.

Mungkin pada masa awal Nabi kurang mampu menulis dan membaca tetapi menjadi buta huruf seumur hidup, bisa menjadi sebuah penghinaan terhadap Nabi. Allahu a'lam.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Lia Camino
Rabu, 15 Mei 2024
Dahlan Iskan
James Surip
Selasa, 14 Mei 2024
Dahlan Iskan
James Today
Senin, 13 Mei 2024
Dahlan Iskan
DK Jakarta
Rabu, 08 Mei 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo