TangselCity

Ibadah Haji 2024

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Polemik Hilirisasi Perunggasan

Oleh: Yudiatna Dwi Sahreza
Sabtu, 03 Februari 2024 | 10:00 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi

SERPONG - Salah satu sektor yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai sebuah usaha dimasa depan di Indonesia adalah sektor peternakan. Potensi pasar yang menjanjikan ada pada sektor perunggasan. Ini disokong oleh permintaan yang tinggi akan sumber protein hewani di kalangan penduduk Indonesia.

Lebih banyak minat terhadap ayam, telur, dan produk derivatifnya sebagai sumber utama protein sehari-hari. Produk-produk turunan tersebut memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan daging sapi dan mudah ditemukan di berbagai tempat. Karena alasan tersebut, sektor peternakan unggas, terutama ayam ras, diharapkan akan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di masyarakat Indonesia.

Meskipun begitu, problematika dalam industri peternakan unggas di Indonesia masih belum sepenuhnya terselesaikan. Terjadinya oversupply produksi ayam ras tiap tahun menurut data dari Badan Pangan Nasional, diperkirakan surplus sekitar 700-800 ribu ton per tahun. Hal ini menyebabkan harga Live Bird (LB) anjlok di bawah Harga Acuan (HA) yang telah ditetapkan.

Permendag 07 mengatur jelas mengenai harga acuan mulai dari tingkat petani hingga konsumen. Namun seperti yang telah disebutkan dalam pelaksanaannya sering dijumpai harga yang tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Dengan terjadinya perbedaan tersebut tentu saja menyebabkan kerugian bagi pihak konsumen maupun peternak karena mengakibatkan menurunnya daya serap dari pasar.

Menurut data dari peternak yang dilakukan, harga jual ayam di tingkat peternak sempat menyentuh harga Rp 12.000 dari harga acuan Rp 19.000 - Rp 21.000 di Nusa Tenggara Barat

Pada tahun 2021 diperkirakan oversupply yang terjadi pada ayam broiler mencapai 724.114 Ton. Oversupply terjadi dikarenakan impor Grand Parent Stock (GPS) yang berlebih oleh integrator dan juga ‘permainan’ mafia perunggasan yang membuat harga ayam dipasaran tinggi namun harga jual ayam pada peternak justru anjlok.

Impor GPS yang berlebih tersebut dikarenakan tidak adanya pengetatan audit oleh pemerintah mengenai kuota dan alokasi impor GPS. Sedangkan ‘permainan’ mafia perunggasan merupakan permainan yang dilakukan oleh integrator yaitu dengan cara menetapkan harga secara sepihak oleh perusahaan inti balik kemitraan internal maupun kemitraan eksternal.

Impor GPS yang berlebih menyebabkan surplus. Menurut Pasal 12 Permentan 32 Tahun 2017 Ayat 1 “Pelaku Usaha Integrasi, Pelaku Usaha Mandiri, Koperasi, dan Peternak yang memproduksi Ayam Ras potong (livebird) dengan kapasitas Produksi paling rendah 300.000 (tiga ratus ribu) ekor per minggu wajib mempunyai Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin” Ayat 2 “Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk fasilitas rantai dingin dan Peredaran”.8 Berbeda dengan amanat Permentan 32 Tahun 2017, perusahaan integrasi justru mengalokasikan livebird mereka untuk diperjualkan ke pasar becek dengan harga yang sudah mereka tentukan secara sepihak yang menyebabkan terjadi persaingan usaha tidak sehat. Ketika harga yang ditentukan oleh integrator secara sepihak anjlok di bawah harga acuan (HA) Permendag 07/2020 peternak terpaksa untuk mengikuti harga yang ditetapkan secara sepihak tersebut karena broker menyerap harga sesuai yang ditetapkan oleh integrator. Mereka (integrator) melanggar amanat Permentan 32 Tahun 2017 yang mewajibkan integrator untuk menyelesaikan rantai dinginnya, mengintegrasikan semua mata rantai nilai dari produksi, distribusi, pengolahan, prosesing hingga penjualan lewat pendekatan from feed to meet. Tidak hanya itu mereka juga kerap kali melanggar ketentuan harga acuan di dalam Permendag 07 Tahun 2020 dengan menentukan harga secara sepihak dibawah harga acuan yang menyebabkan harga anjlok di bawah harga pokok produksi peternak rakyat UMKM.

Kondisi penurunan harga live bird (LB) ini sudah terjadi sejak lama namun yang terparah sekitar dua tahun terakhir sejak 2019 dan diperparah lagi oleh kondisi pandemi COVID-19 awal tahun 2020. Harga live bird (LB) jatuh dibawah harga jual bahkan menurut data yang dihimpun dari peternak sempat menyentuh angka Rp 12.000 - Rp 15.000 dari harga acuan menurut Permendag 07 Tahun 2020 yaitu Rp19.000-Rp21.000.

Seperti yang telah disebutkan, hal ini semakin menggerus eksistensi dari peternak rakyat atau peternak mandiri. Dengan kondisi seperti ini pemerintah mengerahkan upaya ‘cutting’. Upaya tersebut diimplementasikan melalui surat edaran (SE) pertama Dirjen PKH No. 09246T/SE/PK/230./F/08/2020 tentang Pengurangan DOC Final Stock (FS) ayam ras pedaging melalui cutting Hatching Egg (HE), Penyesuaian Setting HE dan Afkir Dini Parent Stock (PS) tahun 2020.

Upaya stabilisasi tersebut seperti pengurangan DOC FS melalui cutting Hatching Egg (HE) umur 18 hari dengan cara menarik HE dari mesin setter sebanyak 7 juta butir per minggu khusus di Pulau Jawa mulai 26 Agustus - 5 September 2020, pengurangan setting HE, afkir dini parent stock sebanyak 4 juta ekor untuk umur 50 minggu ke atas khusus di Pulau Jawa mulai 26 Agustus - 13 September 2020, serta afkir dini reguler dengan umur 60 minggu ke atas.

Bagai simalakama, surat edaran (SE) cutting Hatching Egg (HE) tidak menyelesaikan masalah. Alih-alih melindungi peternak rakyat dari kerugian oversupply, kebijakan cutting HE justru membuat harga sapronak semakin tinggi. Pasalnya seluruh sapronak dari mulai pakan, DOC, hingga obat ternak dikuasai integrator.

Sehingga ketika integrator dipaksa untuk memangkas penjualan DOC dikarenakan cutting Hatching Egg (HE), mereka justru menaikan harga DOC hingga Rp.8000/ekor yang mengakibatkan harga produksi meningkat. Dengan HPP yg tinggi peternak rakyat harus bersaing dengan produk integrator yg jauh lebih murah. Tidak hanya upaya ‘cutting’ pemerintah juga melakukan upaya untuk menstabilkan harga pakan. Terbitnya beberapa surat edaran yaitu,

No Surat : 70/PDN/SD/3/2021; Dirjen PDN meminta perusahaan pakan ternak menguatkan ketersediaan pakan bagi peternak mandiri dengan tidak menaikkan harga penjualan pakan,

No Surat : 115/PDN/SD/5/2021; Dirjen PDN telah bersurat kepada Deputi Bidang Pangan & Agribisnis Kemenko Perekonomian mengusulkan agar Perum BULOG dapat menyerap jagung di sentra produksi untuk selanjutnya disalurkan kepada peternak mandiri dengan harga sesuai Permendag 07/2020 tentang Harga Acuan.

No Surat : 126/PDN/SD/5/2021; Menindaklanjuti surat sebelumnya, Dirjen PDN kembali bersurat kepada Deputi Bidang Pangan & Agribisnis Kemenko Perekonomian untuk mengusulkan penugasan Perum BULOG dalam penyerapan jagung untuk selanjutnya dapat diputuskan dalam Rakornas Tingkat Menteri pada kesempatan pertama.

Selain itu pemerintah juga mengupayakan alternatif pakan (Feed Wheat). Pemerintah Menyediakan alternatif bahan baku pakan lain dengan harga yang lebih terjangkau seperti feed wheat dan DDGS melalui BUMN. Selain itu pemerintah juga membuat skema intervensi perunggasan dengan memperkuat peran PT. Berdikari baik sebagai penyedia DOC dan Pakan serta sebagai penyerap live bird (LB) untuk stabilisasi harga.

Perumpamaan pertandingan sepak bola antara klub sepak bola tingkat internasional dan klub sepak bola level kampung sangat sesuai untuk menggambarkan situasi peternakan di Indonesia saat ini.

Baik peternak mandiri rakyat maupun perusahaan peternakan besar bersaing di arena yang sama, yaitu pasar wet market. Mereka saling berkompetisi meskipun jelas bahwa kapasitas keduanya sangat berbeda. Pemerintah, sebagai wasit, menghadapi kebingungan dan hingga saat ini belum berhasil menghentikan ketidakadilan dalam pertandingan ini.

Persaingan tersebut terjadi karena tidak adanya pemisahan pasar dan juga karena diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 bersamaan dengan Undang Undang 41 Tahun 2014 mengenai Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Sebelum regulasi ini diberlakukan, hak untuk usaha peternakan diberikan kepada peternak independen. Tetapi sejak peraturan ini diberlakukan, hak usaha juga diberikan kepada perusahaan integrator.

Pasal 29 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 bersama dengan Undang-Undang 41 Tahun 2014 menyatakan bahwa (1) “Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus.” Dengan alasan inilah peternak mandiri merasa tertekan karena harus bersaing dengan perusahaan besar yang memiliki kapasitas yang jauh lebih besar.

Integrator atau yang dapat disebut juga perusahaan peternakan skala besar yang terintegrasi dari hulu hingga hilir jelas memiliki fasilitas yang sangat lengkap jika dibandingkan dengan para peternak rakyat/mandiri skala UMKM.

Oleh karena itu integrator haruslah mematuhi peraturan yang ada agar seluruh pelaku usaha bisa mendapatkan margin sharing yang berkeadilan dari mulai hulu hingga hilir. Pasal 19 Permentan 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi menyatakan bahwa: (1) Peredaran DOC dengan klasifikasi FS pedaging dari Pelaku Usaha Integrasi dan Pembibit PS yang melakukan budi daya kepada Pelaku Usaha Mandiri, Koperasi, dan Peternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib memenuhi ketentuan:

a. Paling rendah 50% (lima puluh per seratus) Produksi DOC FS dari Pelaku Usaha Integrasi dan/atau Pembibit PS dialokasikan untuk Pelaku Usaha Mandiri, Koperasi, dan/atau Peternak; dan

b. Paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) Produksi DOC FS dari Pelaku Usaha Integrasi dan/atau Pembibit PS dialokasikan untuk kepentingan sendiri dan Peternak mitra.10 Pemberian DOC FS pada peternak mandiri/rakyat dimaksudkan agar para peternak juga dapat berkembang dan sama-sama memenuhi kebutuhan ayam di Indonesia.

Maka dari itu para integrator haruslah mematuhi peraturan tersebut agar terjadi keseimbangan yang diinginkan. Selain itu sudah disebutkan bahwa integrator juga haruslah menyelesaikan rantai dinginnya. Pasal 12 Permentan 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi menyatakan bahwa:

(1) Pelaku Usaha Integrasi, Pelaku Usaha Mandiri, Koperasi, dan Peternak yang memproduksi Ayam Ras potong (livebird) dengan kapasitas Produksi paling rendah 300.000 (tiga ratus ribu) ekor per minggu wajib mempunyai Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin.

(2) Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk fasilitas rantai dingin dan Peredaran.

(3) Besaran alokasi fasilitas rantai dingin dan Peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan atas nama Menteri dalam bentuk Keputusan Menteri. Namun hingga saat ini yang menjadi kejanggalan bahwa publik atau bahkan peternak rakyat tidak pernah tahu berapa persentase jumlah Livebird (LB) hasil budidaya integrator yang ditetapkan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk dialokasikan ke fasilitas rantai dingin dan peredaran.

Perlu adanya transparansi mengenai data penetapan jumlah alokasi livebird perusahaan integrator dan Dirjen PKH wajib menetapkan persentase lebih dari 80% untuk alokasi fasilitas rantai dingin, agar tidak ada gejolak harga melalui persaingan harga jual livebird integrator dan peternak rakyat di pasar becek (wet market).

Tidak adanya segmentasi pasar menyebabkan harga jual Livebird di tingkat peternak rakyat anjlok, penyebabnya karena harga pokok produksi yang berbeda antara integrator dan peternak rakyat. Seperti yang kita tahu harga livebird (LB) atau harga pembelian di tingkat petani/peternak sering sekali anjlok.

Sedangkan Permendag 07 Tahun 2020 sudah mengatur mengenai harga acuan (HA), baik pembelian di tingkat konsumen maupun penjualan ditingkat petani. Permendag 07 Tahun 2020 melampirkan harga acuan penjualan di peternak minimal Rp 19.000 sampai Rp 21.000. Menurut data yang dihimpun oleh peternak, harga jual ayam peternak di Jawa Barat mengalami naik turun yang cukup drastis, bahkan harga jual tersebut sempat menyentuh Rp13.386 dimana harga tersebut sangat jauh dari harga yang ditentukan pada Permendag 07 Tahun 2020.

Maka dapat disimpulkan bahwa peraturan tersebut belum terlaksana dengan baik. Untuk mengatasinya, sudah tercantum secara umum pada Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disebutkan bahwa “Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga Komoditas Pertanian yang menguntungkan bagi Petani”, sedangkan secara teknis dalam Pasal 3 Ayat 1 Permendag 07 Tahun 2020 yaitu “Dalam hal harga di tingkat petani berada di bawah Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani, Menteri dapat menugaskan badan usaha milik negara untuk melakukan pembelian sesuai dengan Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani setelah mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang badan usaha milik negara”12. Berdasarkan regulasi tersebut seharusnya peternak skala UMKM tidak lagi takut dengan ancaman monopoli dan fluktuasi harga yang menyebabkan terjadi gejolak ekonomi (economic turbulence) di kalangan peternak rakyat mandiri dan berdampak pada bangkrutnya usaha peternak rakyat mandiri. Namun, sayangnya regulasi tersebut belum mampu diterapkan dengan baik oleh penyelenggara negara dan juga tidak adanya sanksi terhadap pelaku usaha yang melanggar regulasi Permendag 07 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Selain itu Kementerian Perdagangan juga mengedarkan surat edaran baru kepada seluruh peternak maupun pengumpul/distributor ayam ras yang menyatakan Kementerian Perdagangan tidak akan menaikkan harga live bird (LB) sesuai Permendag 07/2020 kalau tidak ada sanksi.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo