TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Arsjad: Harga BBM Naik, Inflasi Kudu Dikendalikan

Masyarakat Miskin Dan Rentan Butuh Bantuan

Laporan: AY
Selasa, 13 September 2022 | 12:33 WIB
Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid. (Ist)
Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid. (Ist)

JAKARTA - Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis dan memitigasi terjadinya inflasi, imbas dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Masyarakat miskin dan rentan juga perlu mendapat bantuan yang tepat sasaran.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, mitigasi terkait inflasi ini penting, mengingat kenaikan harga BBM bersubsidi ikut melambungkan inflasi yang diprediksi mencapai 7,5 persen akhir tahun ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dampak kenaikan harga BBM pada 2005 mendorong inflasi mencapai 17 persen. Sedangkan saat kenaikan harga BBM pada 2013, besaran inflasi 8,38 persen dan pada 2014 sebesar 8,36 persen.

“Persoalan saat ini, sekitar 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh orang mampu, atau tidak tepat sasaran. Tujuan utama alokasi subsidi untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat pada golongan pra-sejahtera,” jelas Arsjad dalam keterangan resminya, kemarin.

Dalam kondisi saat ini, sambung Arsjad, masyarakat miskin dan rentan memerlukan bantuan yang lebih tepat.

Dia pun menilai langkah Pemerintah mengalokasi 25 persen dana APBN yang tadinya habis untuk subsidi, digunakan untuk bantuan sosial (bansos) berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), sudah tepat.

Selain itu, dana subsidi BBM akan berdampak besar bagi masa depan jika dialokasikan untuk membangun 200 ribu Sekolah Dasar (SD), 40 ribu Puskesmas dan 3 ribu Rumah Sakit di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T).

“Kami apresiasi Pemerintah yang menggelontorkan BLT untuk keluarga pra-sejahtera, kelompok rentan seperti nelayan dan petani serta masyarakat miskin. Serta BSU (Bantuan Subsidi Upah) bagi karyawan, untuk menjaga daya beli mereka dengan alokasi anggaran Rp 24,17 triliun tahun ini,” ucap Arsjad.

Dari sudut dunia usaha, Arsjad mengakui, kenaikan harga BBM akan menimbulkan kenaikan harga di beberapa sektor, terutama transportasi dan logistik.

Akibat biaya logistik yang naik, harga barang dan jasa akan terkerek. Khususnya di sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang ketergantungan akan BBM cukup tinggi.

Dengan kontribusi BBM terhadap inflasi sebesar 4 persen pada Juli 2022, maka akan ada penyesuaian kenaikan harga produk sekitar 12-13 persen dari harga semula.

Kadin menghitung, industri berskala besar dan sedang tidak akan terlalu terdampak karena menggunakan BBM nonsubsidi.

Namun, untuk skala UMKM, akan langsung menyesuaikan. “Jadi, perlu insentif seperti subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), insentif pajak hingga permodalan,” usulnya.

Pasca pengumuman kenaikan harga BBM, kelompok buruh dan serikat pekerja langsung bereaksi dengan menggelar unjuk rasa.

Menanggapi hal ini, Arsjad menilai peraturan mengenai kenaikan gaji sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021.

Arsjad merasa, penentuan upah minimum untuk tahun 2023 akan lebih sulit. Selain karena besaran kenaikan terbilang kecil, juga harus memperhitungkan dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM.

Menurutnya, produktivitas perusahaan terancam mengalami penurunan, sedangkan tingkat upah mendesak dinaikkan.

Oleh sebab itu, bantuan sosial dan insentif pada UMKM diharapkan dapat memperkecil efek pada penurunan daya beli masyarakat.

“Pemerintah juga harus menaikkan upah minimum, sejalan dengan inflasi yang melonjak,” ujar Arsjad.

Arsjad juga menegaskan, untuk jangka panjang, ketergantungan pada BBM subsidi harus dilepas secara perlahan. Apalagi dunia sudah mulai bergerak menuju energi baru dan terbarukan yang lebih baik.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang bisa dijadikan sumber energi baru terbarukan. Seperti geothermal, angin, surya, hidro dan beberapa sumber mineral seperti nikel, sudah seharusnya berada di garda terdepan untuk proses transisi energi terbarukan.

“Jangan sampai APBN kita terus tergerus untuk subsidi energi fosil yang sudah ditinggalkan negara-negara maju,” kata Arsjad, mengingatkan.

APBN untuk sektor energi harus digunakan dengan membangun ekosistem ekonomi hijau. Seperti industri kendaraan listrik serta ekonomi digital dengan membangun infrastruktur digital.

Tentunya, transisi ini harus didukung dengan kebijakan fiskal lainnya. Seperti insentif dan pengurangan pajak pada pelaku usaha di bidang energi terbarukan, agar transisi energi bisa dipercepat. (rm id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo