TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Beras Surplus, Jagung-Telur-Gula Ditarget Bebas Impor Tahun Depan

Reporter & Editor : AY
Kamis, 03 Juli 2025 | 09:40 WIB
Menko Pangan Zulkifli Hasan. Foto : Ist
Menko Pangan Zulkifli Hasan. Foto : Ist

JAKARTA - Pemerintah menyatakan produksi beras nasional hingga pertengahan 2025 telah melampaui kebutuhan domestik. Namun, ketahanan pangan tidak bisa hanya bergantung pada beras. Untuk itu, pemerintah terus memperkuat swasembada sejumlah komoditas strategis non-beras. Tujuannya untuk menjamin kecukupan gizi masyarakat dan menjaga stabilitas harga pangan di tengah gejolak global. Komoditas yang kini menjadi prioritas utama pemerintah antara lain jagung, telur, daging ayam, gula konsumsi, dan garam.

 

“Untuk komoditas jagung, gula konsumsi dan garam, pemerintah menargetkan bebas impor pada akhir 2025,” ujar Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan dalam wawancara eksklusif bersama Rakyat Merdeka, yang berlangsung di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta, Senin (30/6/2025).

 

Untuk mendukung peningkatan produksi pangan nasional, pemerintah memberikan berbagai insentif, termasuk pupuk bersubsidi, benih unggul, serta alat dan mesin pertanian (alsin­tan). Di sisi lain, penguatan infrastruktur seperti irigasi, pendampingan penyuluh lapangan, dan program pengadaan jagung nasional juga terus men­jadi perhatian utama.

 

Dalam Wawancara ini tim Rakyat Merdeka terdiri dari Di­rektur Utama/CEO RM Group Kiki Iswara, Direktur Pem­beritaan Ratna Susilowati, Pe­mimpin Redaksi RM.id Firsty Hestyarini, Editor Bambang Trismawan, serta jurnalis foto Khairizal Anwar.

 

Berikut petikan wawancara selengkapnya.

 

Pemerintah menyatakan produksi beras sudah melam­paui kebutuhan nasional. Bagaimana perkembangan swasembada pangan selain beras? Komoditas apa yang menjadi prioritas?

 

Ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada beras. Pemerintah terus memperkuat swasembada pada beberapa komoditas strategis non-beras seperti jagung, telur, gula konsumsi, dan garam. Untuk jagung, produksi Januari hingga Mei 2025 mencapai 7,03 juta ton. Meningkat hampir 1 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Target produksi Jagung Pipilan Kering (JPK) dengan kadar air 14 persen pada 2025 adalah 16,68 juta ton, dengan perluasan la­han mencapai 2,89 juta hektar. Penyerapan jagung oleh Perum Bulog hingga pertengahan Juni 2025 telah mencapai sekitar 50.490 ton untuk menjaga sta­bilitas harga dan kesejahteraan petani.

 

Sementara itu, produksi telur ayam pada Juni 2025 diproyek­sikan sebesar 6,52 juta ton, melampaui kebutuhan nasional yang sebesar 6,22 juta ton, se­hingga menghasilkan surplus sekitar 300 ribu ton. Produksi daging ayam diperkirakan men­capai 4,25 juta ton, lebih tinggi dari kebutuhan nasional sebesar 3,87 juta ton. Surplus ini diman­faatkan dengan memperkuat hilirisasi dan penyerapan hasil peternak rakyat melalui pro­gram Makan Bergizi Gratis (MBG). Pemerintah juga men­dorong ekspor telur dan ayam ke negara-negara yang masih defisit, seperti Singapura dan negara-negara di Timur Tengah.

 

Untuk gula konsumsi dan garam, pemerintah telah mene­tapkan target bebas impor pada 2025. Produksi gula nasional ditargetkan meningkat dari 2,4 juta ton pada 2024 menjadi 2,6 juta ton di tahun 2025. Selain itu, pemerintah terus memberi­kan dukungan sarana produksi pertanian seperti pupuk ber­subsidi, benih unggul, dan alat mesin pertanian (alsintan). Dukungan infrastruktur pendukung seperti irigasi, penyuluh, dan pengadaan jagung juga terus diperkuat. Strategi pemerin­tah pada semester dua 2025 akan menitikberatkan pada per­cepatan hilirisasi, peningkatan traceability ekspor. Selain itu penguatan cadangan nasional di luar beras, serta akselerasi riset untuk komoditas strategis. Semua langkah ini men­jadi landasan untuk mencapai ketahanan sekaligus swasem­bada pangan yang inklusif.

 

Kondisi dunia sedang berge­jolak, apakah hal ini memberikan pengaruh positif pada upaya kemandirian pangan dalam negeri? Bagaimana cara meningkatkan produksi domestik dalam situasi seperti sekarang?

 

Untuk meningkatkan produksi domestik pada semester kedua tahun 2025, pemerintah sudah menyiapkan beberapa langkah. Pertama, kami memperkuat tata kelola pupuk bersubsidi sesuai dengan Perpres Nomor 6 Tahun 2025 tentang Pupuk Bersubsidi. Ini penting agar pupuk tepat sasaran dan efisien penggunaannya. Dulu kalau mau pupuk turun harus pakai 500 tanda tangan. Dari guber­nur, bupati menteri perdagangan dan banyak lagi. Sekarang kita pangkas. Dari pabrik langsung ke gabungan kelompok tani atau Gapoktan.

 

Kedua, kami mempercepat pembangunan serta peningkatan sarana dan prasarana produksi, khususnya jaringan irigasi. Melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2025, program rehabilitasi, operasi, dan pemeliharaan iri­gasi menjadi fokus utama agar air dapat mengalir lancar dan mendukung produktivitas lahan.

Ketiga, penguatan sumber daya manusia pertanian juga tak kalah penting. Dengan adopsi teknologi modern lewat Inpres Nomor 3 Tahun 2025, petani didorong untuk meningkatkan kapasitas dan memanfaatkan inovasi agar hasil panen makin optimal.

 

Keempat, kami menjamin ketersediaan input produksi seperti benih unggul untuk padi, jagung, kedelai, dan sorgum. Selain itu, distribusi pupuk ber­subsidi kini berbasis e-RDKK (Rencana Dasar Kebutuhan Kelompok Tani) agar lebih transparan dan tepat sasaran, serta bantuan alat mesin perta­nian (alsintan) disalurkan bagi petani kecil agar produktivitas­nya naik.

 

Apakah ada strategi lain me­ningkatkan produksi pangan?

 

Selain itu, pemerintah mengedepankan model kemi­traan closed loop sebagai pilar transformasi ketahanan pangan nasional. Pendekatan ini adalah sistem rantai pasok tertutup dan terstruktur yang menghubung­kan petani, koperasi, offtaker, lembaga pembiayaan, hingga konsumen akhir dalam satu eko­sistem yang saling menopang. Dengan sistem ini, setiap komo­ditas yang diproduksi diarahkan agar memiliki jalur distribusi dan penyerapan yang jelas. Ini tentu meningkatkan kepastian pasar bagi petani sekaligus mencegah penumpukan hasil panen di lapangan.

 

Melalui kemitraan closed loop, pemerintah secara siste­matis menekan potensi kehilangan dan pemborosan pangan yang selama ini menjadi per­soalan kronis dalam sistem pangan terbuka. Dengan adanya kepastian pasar dan penyerapan langsung dari koperasi, BUMN pangan, maupun program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), hasil produksi petani dapat terserap secara optimal sesuai dengan proyeksi kebu­tuhan. Hal ini membuat distri­busi menjadi lebih terencana dan risiko kelebihan stok atau produk rusak akibat keterlam­batan logistik dapat dimini­malkan. Bahkan, sisa hasil panen yang tidak terserap untuk konsumsi langsung diarahkan untuk pengolahan pakan, pupuk organik, atau energi alternatif dalam kerangka ekonomi sirku­lar. Jadi, pendekatan kemitraan closed loop ini tidak hanya meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan sistem pangan na­sional, tapi juga menghadirkan efisiensi nyata dalam tata kelola pangan.

 

Selain konflik global, ada juga tantangan perubahan iklim dan alih fungsi lahan. Bagaimana strategi peningkatan produksi yang melibatkan petani kecil?

 

Secara prinsip, kebijakan yang kami jalankan di Kemenko Pangan meliputi beberapa hal penting. Pertama, kami me­mangkas birokrasi terkait regulasi pupuk sebanyak 145 aturan. Dengan pemangkasan ini, penggunaan pupuk jadi lebih tepat sasaran dan tepat waktu, sehingga efisiensi produksi meningkat. Kedua, kami mem­perkuat pengendalian alih fungsi lahan sawah. Ini sangat penting supaya lahan-lahan produktif tetap terlindungi dan bisa terus mendukung ketahanan pangan. Ketiga, perbaikan jaringan iri­gasi terus dilakukan, termasuk percepatan pembangunan iri­gasi tersier dan mikro. Melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2025, pemerintah fokus menyediakan fasilitas seperti embung desa, pompa air, dan pipa gravitasi untuk menjangkau lebih dari 5.000 titik prioritas. Khusus­nya di lahan tadah hujan dan sawah yang rawan gagal panen. Keempat, kami menegakkan hukum terhadap pelanggaran lingkungan, guna mengurangi risiko bencana seperti longsor, banjir, dan kerusakan lainnya yang berpotensi mengganggu produksi pangan.

 

Lalu, bagaimana pemerin­tah melindungi lahan sawah agar tidak terus berkurang?

 

Untuk perlindungan lahan sawah, penetapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) akan dilan­jutkan secara bertahap di 12 hingga 17 provinsi, dengan Kemenko Pangan berperan sebagai Ketua Tim Terpadu. Di samping itu, kami juga me­nyiapkan insentif komprehensif bagi pemerintah daerah dan ma­syarakat pemilik lahan, supaya perlindungan dan pemanfaatan­nya berjalan berkelanjutan. Selain itu, dukungan kami juga mencakup perluasan distribusi benih unggul dan pupuk ber­subsidi yang tepat sasaran, melalui digitalisasi sistem e-RDKK (Rencana Dasar Kebu­tuhan Kelompoktani) agar lebih transparan dan akurat.

 

Pemerintah juga mem­perkuat status hukum sekitar 8 juta hektar lahan sawah melalui Perpres Tata Ruang Nasional dan Peraturan Pemerintah tentang Lahan Perta­nian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Di saat yang sama, kami mengembangkan food estate di wilayah-wilayah terluar seperti Kalimantan Tengah, NTT, dan Maluku, sebagai upaya diversi­fikasi dan peningkatan produksi pangan nasional. Semua lang­kah ini kami desain agar petani kecil mendapatkan dukungan maksimal, mulai dari sarana produksi sampai perlindungan lahan, sehingga mereka bisa lebih produktif dan mandiri, meski menghadapi tantangan perubahan iklim dan alih fungsi lahan.

 

Bagaimana peran spesifik Koperasi Merah Putih dalam program ketahanan pangan nasional?

 

Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih kami tempatkan sebagai pilar sentral dalam ekosistem ketahanan pangan nasional yang berbasis komu­nitas. Fungsi koperasi ini bukan sekadar sebagai koperasi biasa, tapi sebagai saluran distribusi sekaligus pengumpul ekonomi di tingkat desa. Koperasi Merah Putih dirancang untuk menjem­batani secara langsung antara petani atau produsen pangan lokal dengan konsumen akhir. Selain itu, koperasi ini juga men­jalankan peran penting dalam stabilisasi harga serta memas­tikan ketersediaan pasokan dan stok pangan.

 

Bagaimana mengintegrasi­kannya dalam rantai pasok dari petani kepada konsumen?

 

Integrasi dalam rantai pasok dilakukan dengan pendekatan menyeluruh. Mulai dari pengadaan input produksi seperti pupuk dan benih, penyerapan hasil panen dengan harga acuan, penyimpanan melalui gudang atau cold storage, hingga pendistribusian pangan pokok ke masyarakat desa dan kawasan sekitarnya. Untuk me­mastikan operasional koperasi berjalan optimal, kami juga mengembangkan sistem digital bersama PT Pos Indonesia dan PT Telkom. Sistem ini membantu menjaga keandalan operasional, sekaligus mendukung data pasokan, stok, dan intervensi pasar agar lebih tepat sasaran. Dengan fondasi seperti ini, Koperasi Merah Putih menjadi tulang punggung penguatan ketahanan pangan yang merata, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar.

 

Apa keunggulan Koperasi Merah Putih ini dibandingkan skema distribusi pangan me­lalui cara lama, misalnya lewat Bulog, BUMDes, atau lainnya?

 

Yang paling membedakan adalah karakter keterpaduan dan kedekatan layanan Koperasi Merah Putih dengan masyarakat sampai ke tingkat desa. Kalau skema lama, posisi Bulog cen­derung di hilir dan kota besar. Sementara BUMDes sering belum punya sistem logistik dan kapasitas kelembagaan yang memadai. Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih mengisi ruang itu dengan struktur yang menyentuh hulu, yaitu di desa, sekaligus menghubungkannya langsung dengan hilir di kota besar, dengan dukungan keber­pihakan penuh dari BUMN. Koperasi ini memangkas rantai distribusi menjadi sangat sing­kat. Dari petani ke koperasi, lalu langsung ke konsumen. Dampaknya terasa nyata. Harga jadi lebih murah, margin petani meningkat, dan disparitas harga di desa berkurang.

 

Selain itu, Koperasi Merah Putih punya izin lengkap se­hingga tak perlu repot mengurus izin lain. Kopdes juga didukung dana operasional, pelatihan manajemen, dan sistem penga­wasan terpadu. Ini menunjuk­kan komitmen agar koperasi ini benar-benar berfungsi sebagai pusat layanan pangan rakyat. Target kami adalah 80.000 koperasi aktif di seluruh desa. Dengan kekuatan ini menja­dikan Koperasi merah Putih sebagai instrumen yang paling realistis untuk membumikan ketahanan pangan secara nyata dan merata. Secara jumlah pun, Koperasi Merah Putih sudah lebih banyak dibanding BUMDes yang tercatat sekitar 65.941 per Juni 2024.

 

Jadi, apa saja keunggulan Koperasi Merah Putih?

 

Kalau dirangkum, ada be­berapa keunggulan Koperasi Merah Putih dalam distribusi pangan. Pertama, memangkas rantai distribusi, sehingga prak­tik tengkulak yang menggerogoti margin petani bisa diminimal­kan. Kedua, berfungsi sebagai agen resmi BUMN di level desa sebagai outlet resmi Bulog (be­ras SPHP), pupuk (PT Pupuk Indonesia), minyak goreng (PT ID Food), LPG (Pertamina), serta layanan logistik (PT Pos). Semua ini dikelola dengan kontrol inventori terintegrasi, sehingga harga lebih stabil dan kualitas terjamin. Ketiga, memi­liki jaringan distribusi yang luas sampai ke titik desa, menjangkau masyarakat yang selama ini sering kesulitan akses pangan.

 

Bagaimana memastikan ketahanan pangan bisa benar-benar menjamin pasokan aman hingga ke daerah 3T?

 

Ketahanan pangan itu bukan hanya soal produksi saja, tapi juga bagaimana akses distri­busi dan harga yang terjangkau. Pemerintah memastikan pangan tidak hanya tersedia secara nasional, tapi juga bisa sampai ke wilayah 3T (daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal). Per­tama, untuk menjaga keamanan pasokan dan stok pangan di daerah 3T, pemerintah mem­perkuat konektivitas logistik melalui tol laut, kapal perintis, dan subsidi ongkos angkut. Dalam hal ini, peran logistik sangat penting. Pemerintah melakukan perencanaan dan koordinasi agar rute distribusi efisien, moda transportasi tepat, serta pengelolaan gudang berja­lan baik. Kedua, pengadaan dan penyimpanan barang di daerah 3T diperhatikan dengan cermat, termasuk memilih pemasok yang andal dan mengelola stok secara efisien supaya kebutuhan selalu terpenuhi. Saat distribusi, pemerintah berupaya mengatasi tantangan geografis dan keter­batasan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut.

 

Selain itu, pengendalian biaya menjadi fokus agar harga ba­rang di daerah 3T tidak terlalu tinggi akibat ongkos angkut. Pengawasan kualitas juga di­lakukan agar barang sampai dalam kondisi baik. Tidak kalah penting, pemerintah menerap­kan sistem informasi terintegrasi untuk memantau dan melacak barang secara transparan dan akuntabel.

 

Apakah ada upaya menjaga disparitas harganya?

 

Dalam hal ini, pemerintah melakukan beberapa upaya. Pertama, subsidi ongkos kirim diberikan ke daerah 3T agar harga pangan tetap terjang­kau. Kedua, pembangunan in­frastruktur seperti jalan, jem­batan, pelabuhan, dan ban­dara terus didorong agar akses semakin mudah. Selain itu, pengembangan logistik berbasis teknologi informasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi distribusi. Pemerintah juga mendorong sinergi antara pemerintah, swasta, dan lembaga terkait agar kerja sama berjalan optimal. Terakhir, pemerintah membantu pelaku usaha di dae­rah 3T meningkatkan daya saing mereka melalui modernisasi pertanian. Dengan langkah-langkah ini, kami optimis ke­tahanan pangan bisa terjaga dengan pasokan yang aman dan harga yang adil hingga ke seluruh pelosok negeri.

 

Pemerintah saat ini sedang menggencarkan ekonomi biru dan hijau. Bagaimana model ketahanan pangan yang mem­perhatikan prinsip keberlanju­tan dan kepedulian lingkungan diterapkan?

 

Model ketahanan pangan yang memperhatikan prinsip keberlanjutan dan kepedulian lingkungan, terutama yang terkait dengan ekonomi biru, bisa kita sebut sebagai “Pangan Biru”. Kenapa Pangan Biru? Karena pangan ini berasal dari hewan air, tumbuhan, dan alga yang ada di laut dan perairan. Dengan proyeksi populasi Indonesia yang akan mencapai 324 juta pada tahun 2045, tentu kebutuhan makanan bergizi juga meningkat. Pangan Biru menawarkan solusi yang sangat vital untuk memenuhi kebutuhan itu.

 

Pangan Biru ini kaya nutrisi. Dia menyediakan mikronutrien penting seperti protein, asam lemak omega-3, kalsium, dan zat besi, yang sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan manusia. Selain itu, Pangan Biru juga lebih ramah lingkungan, dengan jejak karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan sum­ber makanan darat.

 

Namun, kita juga harus akui tantangan yang ada. Masalah malnutrisi dan stunting masih cukup tinggi di beberapa dae­rah, di mana satu dari lima anak masih terdampak. Untuk menga­tasi hal ini, Pangan Biru sudah mulai diintegrasikan ke dalam program gizi nasional, seperti program pemberian makan di sekolah dan bantuan sosial, ter­masuk Bantuan Pangan Non-Tu­nai (BPNT). Tujuannya agar ma­syarakat, terutama yang rentan, punya akses mudah ke Pangan Biru yang terjangkau dan ber­gizi. Selain itu, dalam praktik perikanan, kita juga fokus pada keberlanjutan. Misalnya, peri­kanan budidaya yang berkelan­jutan, konservasi laut, serta pengelolaan perikanan tangkap yang menjaga kelestarian eko­sistem laut sambil meningkatkan produktivitas.

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit