TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

RELIJIUCITY

Indeks

Dewan Pers

RAPBN 2026 Defisit 689 T Masih Dalam Batas Aman

Reporter & Editor : AY
Jumat, 19 September 2025 | 09:46 WIB
Menkeu Purbaya saat rapat di DPR. Foto : Ist
Menkeu Purbaya saat rapat di DPR. Foto : Ist

JAKARTA - Pemerintah dan DPR sepakat mengubah postur RAPBN 2026. Belanja negara naik menjadi Rp 3.842,7 triliun. Sementara, penerimaannya Rp 3.153,6 triliun. Sehingga, ada defisit Rp 689,1 triliun.

 

Awalnya, dalam Nota Keuangan dan RAPBN yang dibahas di era Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, belanja negara dipatok Rp 3.786,5 triliun. Kemudian, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa melakukan revisi, karena ada beberapa penambahan, baik pada pos belanja Pemerintahan maupun Transfer ke Daerah (TKD).

 

“Dengan adanya surat dari Pemerintah, belanja negara naik menjadi Rp 3,842,72 triliun. Ada kenaikan Rp 56,23 triliun," kata Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah, dalam Rapat Kerja dengan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan jajaran Pemerintah lainnya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025).

 

Dari pos belanja Pemerintah Pusat, dirancang naik dari Rp 3.136,5 triliun menjadi Rp 3.149,7 triliun. Rinciannya, belanja Kementerian/Lembaga (K/L) naik dari Rp 1.498,3 triliun menjadi Rp 1.510,5 triliun, belanja non-K/L naik dari Rp 1.638,2 triliun menjadi Rp 1.639,2 triliun.

 

Dari pos TKD, naik dari Rp 650 triliun menjadi Rp 693 triliun. "Naik Rp 43 triliun. Tentu kenaikan ini sesuai dengan permintaan dari komisi-komisi dan berbagai pemberitaan yang demikian dahsyatnya mengenai urusan TKD," ungkap Said.

 

Untuk pendapatan negara, dalam revisi ini, sebenarnya juga ada kenaikan, tapi tidak signifikan. Dari Rp 3.147,7 triliun menjadi Rp 3.153,6 triliun. Rinciannya, penerimaan pajak Rp 2.357,7 triliun, kepabeanan dan cukai Rp Rp 336 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 459,2 triliun.

 

Dengan belanja tersebut, defisit RAPBN 2026 sebesar Rp 689,1 triliun atau 2,68 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini naik dari rancangan sebelumnya Rp 638,8 triliun atau 2,48 persen terhadap PDB.

 

Dalam rapat ini, Banggar DPR menyetujui seluruh perubahan tersebut. Hasil rapat ini akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada 23 September 2025, untuk disahkan.

 

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kenaikan belanja dalam postur APBN 2026 ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Purbaya pun mengucapkan terima kasih ke Banggar yang sudah menyetujui perubahan yang diajukan Pemerintah.

 

"Sinergi yang terjalin menunjukkan sinergi bersama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," ucapnya.

 

Lantas bagaimana menutupi defisit yang begitu besar itu? Purbaya santai. Menurutnya, defisit anggaran masih dalam rentang 2-3 persen. Angka tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lagipula, besarnya belanja Pemerintah diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.

 

Purbaya meminta publik tidak mengkhawatirkan dampak pelebaran defisit ini. Dia memastikan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selalu mengelola keuangan negara secara akuntabel.

 

"Jadi, nggak usah takut. Kami tetap hati-hati," ucap mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu.

 

Ekonomi Ekspansif

 

Ketua Umum Perkumpulan Analis Efek Indonesia David Sutyanto yakin, kebijakan yang dibuat Pemerintah akan mendorong masa ekonomi ekspansif. Salah satunya, dari pengucuran dana Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) Pemerintah ke lima bank BUMN.

 

David mengatakan, ekonomi selalu bergerak dalam siklus yang di dalamnya ada fase pertumbuhan atau ekspansi, mencapai puncak, kemudian melemah dalam kontraksi atau resesi, lalu bangkit kembali melalui pemulihan. Siklus ini tak bisa dihindari. Namun, bisa dikelola agar fase ekspansi bertahan lebih lama dan resesi terjadi lebih singkat.

 

Sejak akhir tahun lalu, kata dia, banyak narasi pesimis yang menyebut ekonomi Indonesia akan menghadapi tantangan besar pada 2025. Data yang muncul memang memberi alasan untuk khawatir. 

 

Penerimaan pajak turun, Purchasing Managers Index manufaktur dalam beberapa kesempatan terkontraksi, dan terjadi penjualan dari investor asing terhadap saham-saham di Indonesia. Kredit perbankan pun melambat, tumbuh hanya sekitar 7,7 persen pada pertengahan tahun dari harapan pertumbuhan double digit. Ditambah lagi dengan likuiditas di sistem keuangan tampak mengetat yang ditunjukkan Loan to Deposit Ratio beberapa bank buku 4 meningkat.

 

Namun, roda ekonomi tak pernah benar-benar terhenti. Justru di saat tekanan ini, arah kebijakan mulai bergeser. Situasi mulai berubah secara cepat dalam beberapa waktu terakhir. "Kunci dari perubahan arah ini adalah koordinasi yang semakin erat antara kebijakan fiskal dan moneter," kata David.

 

Dia melanjutkan, dalam kondisi ini, Pemerintah tidak lagi menahan diri, melainkan mengadopsi sikap ekspansif. Dana Rp 200 triliun yang sebelumnya mengendap di BI digeser ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) agar bisa segera disalurkan menjadi kredit. 

 

Selain itu, stimulus tambahan juga digelontorkan. Termasuk bantuan sosial, dukungan untuk UMKM, program padat karya, serta insentif pariwisata, dengan nilai dari Rp 16, 23 triliun.

 

Sementara itu, BI mengambil langkah yang tak kalah berani. Berlawanan dengan ekspektasi banyak ekonom yang memprediksi suku bunga acuan akan dipertahankan, bank sentral justru memangkasnya ke level 4,75 persen.

 

Keputusan ini membawa kejutan positif. Karena menurunkan biaya pinjaman, memperbesar ruang konsumsi, dan memberi dorongan bagi pasar modal," ulas David.

 

Menurutnya, sinergi fiskal dan moneter menjadi titik tolak lahirnya babak baru. Pasar modal segera merespons dengan pergerakan positif, bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor tertinggi di 8025,18. Adanya harapan bila The Fed di Amerika Serikat ikut memangkas suku bunga, maka IHSG berpotensi memecahkan rekor tertinggi yang baru dicapai.

 

"Ini merupakan sinyal awal bahwa langkah-langkah ekspansif ini bisa menjadi katalis yang memperpanjang fase pertumbuhan," kata David.

 

Namun, kata David, jalan menuju ekonomi yang benar-benar ekspansif tidak akan selalu mulus. Tantangan masih membayangi. Mulai dari ketidakpastian global, tekanan akibat rendahnya inflasi yang mencerminkan lemahnya permintaan, hingga penurunan aktivitas ekonomi domestik. Karena itu, transparansi kebijakan serta konsistensi dalam pelaksanaannya menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan.

 

Meski begitu, lanjutnya, tanda-tanda awal sudah cukup jelas. Indonesia kini berada di persimpangan yang menentukan, dan pilihan kebijakan yang lebih berani memberi alasan untuk optimis. Pasar modal terus bergerak positif, rupiah terjaga, belanja Pemerintah meningkat, stimulus digelontorkan dan dorongan untuk pertumbuhan terus dilakukan. Semua ini terjadi karena fiskal dan moneter tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, melainkan bersatu dalam tujuan yang sama.

 

“Selamat datang ekonomi ekspansif. Inilah era baru di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, ketika kebijakan fiskal dan moneter bertemu dalam satu irama, mendorong roda perekonomian agar bergerak lebih kencang, memperpanjang masa ekspansi, dan memberi harapan bahwa pertumbuhan kali ini bisa dirasakan lebih merata oleh seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya.

Komentar:
ePaper Edisi 19 September 2025
Berita Populer
06
18 Ribu Anak Di Pandeglang Tak Sekolah

Pos Banten | 1 hari yang lalu

09
10
Polisi Bekuk Penjual Obat Keras Di Pondok Karya

TangselCity | 1 hari yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit