Kejar Ekonomi 8 Persen Butuh Investasi 13.000 T
JAKARTA - Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, Pemerintah tidak cukup mengandalkan APBN. Perlu dana segar untuk mendongkrak perekonomian dalam negeri. Salah satunya, Pemerintah butuh investasi hingga Rp 13.000 triliun bila ingin ekonomi mencapai 8 persen.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu mengatakan, Pemerintah tak punya pilihan lain selain mengonsolidasikan investasi sebesar itu. Target fantastis tersebut diperlukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari tren 5 persen menjadi 8 persen.
Todotua membandingkan dengan era Presiden ke-7 RI Jokowi. Dalam dua periode, Jokowi berhasil menghimpun investasi Rp 9.117,4 triliun untuk menjaga ekonomi tetap stabil di level 5 persen.
Untuk menuju 8 persen, realisasi investasi lima tahun ke depan harus sekitar Rp 13.032,8 triliun,” ujarnya dalam Business Forum di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Todotua mengakui, dalam realisasi investasi, Indonesia tertinggal dari Vietnam. Ia mencontohkan, Vietnam yang pada 2024 tumbuh 7,04 persen berkat gelontoran investasi raksasa.
Dari total arus investasi 240 miliar dolar AS yang masuk Asia Tenggara, Vietnam berhasil menggaet 140 miliar. Indonesia, kata dia, hanya kebagian 39– 40 miliar dolar AS. “So, ini tantangan,” cetusnya.
Untuk mengejar ketertinggalan, Pemerintah telah menyiapkan berbagai jurus. Dari insentif jumbo sampai debottlenecking proyek strategis.
Todotua lalu memaparkan peta jalan pertumbuhan ekonomi sesuai arah kebijakan Presiden Prabowo. Pada 2024, ekonomi diperkirakan tumbuh 5,05 persen dengan target investasi Rp 1.650 triliun. Lalu meningkat bertahap hingga mencapai pertumbuhan 8 persen pada 2029, dengan target investasi Rp 3.414,8 triliun.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menambahkan, kunci menuju ekonomi 8 persen juga bertumpu pada filosofi “Sumitronomics”, yakni konsep ekonomi yang meliputi tiga pilar: pertumbuhan tinggi, pemerataan manfaat, dan stabilitas nasional.
Ia menekankan pentingnya menjaga permintaan domestik, yang kontribusinya mencapai 90 persen PDB. “Walau global gonjang-ganjing, kalau permintaan domestik kita jaga, itu sudah cukup menopang pertumbuhan,” ujar mantan bos LPS itu.
Sekedar informasi. Hingga akhir September 2025, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan, realisasi investasi yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 1.434,3 triliun. Realisasi ini mencapai 75,3 persen dari target investasi yang dicanangkan tahun ini sebesar Rp 1.905,6 triliun.
Ekonom Paramadina Wijayanto Samirin memberi catatan penting. Menurutnya, investasi besar tidak akan banyak berarti bila ICOR (Incremental Capital Output Ratio) tetap tinggi.
Saat ini ICOR Indonesia berada di 6,6– 6,8 kali, jauh lebih buruk dibanding masa Orba yang sekitar 4,4 kali. “Artinya, tiap satu rupiah investasi menghasilkan output yang lebih rendah,” ujarnya.
Untuk menurunkan ICOR, pemerintah harus membenahi efisiensi logistik, menekan biaya tinggi, memberantas korupsi, dan memperbaiki perencanaan investasi.
Wijayanto mengingatkan, masalah klasik seperti inkonsistensi regulasi dan birokrasi lamban masih menghantui investor. “Tantangan yang dihadapi Shell, BP, Apple, Samsung, Nestle, dan Danone, itu nyata. PR (pekerjaan rumah) Pemerintah besar untuk yakinkan investor Amerika dan Eropa,” tegasnya.
Dia berpesan agar pemerintah memperbaiki iklim investasi. Salah satunya dengan deregulasi seperti yang dilakukan Vietnam. “Deregulasi yang dilakukan harus tuntas, benar-benar bisa dijalankan di lapangan,” imbuhnya.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet sepakat, untuk mengejar ekonomi tumbuh 8 tidak cukup mengandalkan pada konsumsi rumah tangga. Realisasi investasi harus jadi mesin utama untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Namun, mengumpulkan Rp 13 ribu triliun dalam lima tahun bukan perkara mudah. Dunia sedang rebutan likuiditas, investor makin selektif, dan negara pesaing seperti Malaysia dan Vietnam punya rekam jejak lebih kuat di mata investor global.
Yusuf mengakui ada tren positif pada Foreign Direct Investment (FDI), namun mengingatkan soal persoalan lama, yakni stabilitas regulasi. Aturan yang berubahubah dalam waktu singkat dinilai bikin investor ragu.
Regulasi harus stabil dan mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak,” tutupnya.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu



