Direkrut Lewat Game Online dan Medsos, BNPT Ungkap 110 Anak Terpapar Terorisme
JAKARTA – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Eddy Hartono mengungkap fakta mencengangkan soal strategi baru jaringan terorisme dalam menjaring anggota. Modus perekrutan kini tak lagi berlangsung melalui pertemuan fisik, melainkan lewat ruang digital—mulai dari game online hingga media sosial.
Temuan ini terungkap setelah Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror mengidentifikasi 110 anak berusia 10–18 tahun yang sudah terpengaruh salah satu jaringan terorisme. Temuan tersebut sontak memicu perhatian publik.
“Kelompok Jamaah Ansharut Daulah melakukan rekrutmen terhadap anak-anak di bawah umur melalui game online dan YouTube,” ujar Eddy di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).
Game Jadi Pintu Masuk
Eddy menjelaskan, para perekrut memanfaatkan fitur komunikasi pribadi dalam gim, seperti private chat dan voice chat, untuk mengawali pendekatan. Interaksi yang awalnya terlihat biasa, kemudian menjadi jalur penyusupan ideologi.
Selain itu, pola perekrutan turut memanfaatkan platform populer seperti TikTok, dengan penggunaan simbol, konten, hingga narasi tertentu untuk mencari calon simpatisan. Setelah target dinilai memiliki kesamaan pandangan, mereka digiring masuk ke grup tertutup di Telegram atau WhatsApp.
“Di ruang tertutup itulah proses doktrinasi terjadi. Dalam psikologi disebut normalisasi perilaku. Semua ideologi mulai dimasukkan di sana,” terang Eddy.
Dunia Digital Jadi Lahan Baru
Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menilai fenomena ini sebagai bukti nyata bahwa dunia maya telah menjadi arena operasi kelompok ekstrem.
“Dulu internet hanyalah tempat hiburan, sekarang berubah menjadi ruang gerak strategis bagi teroris,” ujar Pratama. Ia menilai evolusi taktik ini menunjukkan lemahnya pengawasan, literasi digital, dan kemampuan sebagian orang tua serta sekolah dalam mengenali proses radikalisasi digital.
Menurutnya, game modern adalah medium efektif karena menawarkan ruang interaksi intens dan privat, yang berlangsung tanpa kontrol dari pihak berwenang maupun keluarga.
Peran Keluarga Jadi Kunci
Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menegaskan perekrutan melalui game dan TikTok hanyalah “pintu awal”. Ia menyebut akar masalah ada pada lemahnya ketahanan pribadi anak dan kurangnya pendampingan orang tua serta sekolah.
“Game hanya sarana. Yang paling penting adalah membentengi anak-anak dari paham radikal. Ketahanan pribadi itu dimulai dari rumah,” kata Hasanuddin kepada Rakyat Merdeka.
Menurutnya, jaringan teror tidak bekerja secara sembarangan. Setelah kontak tercipta, perekrut akan menyeleksi calon target.
“Ada yang dianggap taat orang tua, ada yang labil. Yang labil inilah yang dirangkul. Dari situ, ideologi mulai dimasukkan—narasi ketidakadilan, ajakan melawan, hingga glorifikasi kekerasan,” jelasnya.
Hasanuddin menekankan bahwa anak-anak kini hidup di dua dimensi: dunia nyata dan dunia maya. Karena itu, pola pendampingan harus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
“Banyak kasus, anak depresi hingga bunuh diri karena tekanan digital.
Menghapus akun mungkin mudah, tapi menghapus dampak psikologisnya tidak. Di sinilah peran orang tua dan guru sangat penting,” tandasnya.
Galeri | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Galeri | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu


