TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Membaca Ulang Al-Qur’an (7)

Teomorfisme Al-Qur’an (2)

Oleh: Prof. KH Nazaruddin Umar
Rabu, 29 Maret 2023 | 09:37 WIB
Prof. KH Nazaruddin Umar
Prof. KH Nazaruddin Umar

CIPUTAT - Kehadiran Al-Qur’an bukti paling besar kepemihakan Tuhan kepada manusia. Makhluk lainnya cukup dituntun oleh hukum alam (sunnah Allah/natural law), tetapi manusia ditambahkan sebuah special directin bernama Al-Qur’an.

Allah Maha Tahu kalau manusia diciptakan sebagai makhluk paling cerdas, tetapi tidak berarti tidak memiliki kekurangan dan kelemahan. Manusia memang cerdas tetapi pelupa. Manusia dikarunia akal tetapi suka mabuk.

Manusia dilukiskan sebagai ahsan taqwim tetapi juga sering dilukiskan menjadi asfala safilin. Dengan mempertimbangkan kelemahan dan dengan mengingat amanah yang diembannya begitu besar maka Allah SWT memberikan ektra directions untuk memudahkan manusia menjalani double capacity-nya sebagai hamba dan sekaligus khalifah di bumi.

Tidak cukup hanya dengan Al-Qur’an, Allah SWT pun menyempurnakan hidayah besarnya kepada umat manusia dengan mengutus nabi dan rasul untuk memberikan penjelasan (mubayyan) terhadap wahyu.

Penjelasan dan keterangan yang dilakukan Nabi terhadap Al-Qur’an dianggap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Al-Qur’an itu sendiri.

Tidak boleh menerima wahyu tetapi menolak al-sunnah/hadis. Antara keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain.

Keberadaan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manisia memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda satu sama lain.

Ada yang memahami Al-Qur’an secara standar, sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’an dan dibantu dengan terjemahannya, sebagai mana marak di pasaran sekarang ini.

Sebagian lagi sudah masuk ke wilayah makna batin atau makna esoris di dalam Al-Qur’an. Yang lainnya dalam jumlah terbatas sudah mampu memetik makna dan tujuan yang dekat.

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup memang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, namun kehadirannya dapat dirasakan di dalam hati seiap orang.

Banyak orang yang secara teori memahami seluk beluk wahyu, bahkan mereka mendapatkan gelar dalam bidang Studi Al-Qur’an, namun bukan jaminan yang bersangkutan bisa merasakan kehadiran wahyu di dalam hati sanubarinya.

Kedalaman wahyu tidak sama bagi setiap orang. Ada yang baru sampai dalam tingkat memahami secara umum (knowing), ada yang memahami secara mendalam (understanding), ada yang memahami sekaligus menghayati dan merealisasikannya (realizing).

Inilah arti dan makna kata iqra’ diperintahkan berulang-ulang oleh Jibril, yakni jangan berhenti di taraf iqra’ pertama (knowing), iqra’ kedua (understandiung) tetapi harus sampai ke taraf iqra’ ketiga (realizing).

Masalahnya sekarang bagaimana metode untuk sampai ke tingkat iqra’ ketiga, sebuah tingkatan yang mampu menyuguhkan suasana batin ‘merasakan kehadiran wahyu’ di dalam batin.

Merasakan kehadiran wahyu berbeda dengan merasakan kehadiran ilham, ta’lim, atau inspirasi cerdas. Dengan kata lain, beda rasa wahyu dan rasa ilham atau ta’lim. ‘Rasa wahyu’ diisyaratkan dalam ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.

Banyak orang yang secara teori memahami seluk beluk wahyu, bahkan mereka mendapatkan gelar dalam bidang Studi Al-Qur’an, namun bukan jaminan yang bersangkutan bisa merasakan kehadiran wahyu di dalam hati sanubarinya.

Kedalaman wahyu tidak sama bagi setiap orang. Ada yang baru sampai dalam tingkat memahami secara umum (knowing), ada yang memahami secara mendalam (understanding), ada yang memahami sekaligus menghayati dan merealisasikannya (realizing).

Inilah arti dan makna kata iqra’ diperintahkan berulang-ulang oleh Jibril, yakni jangan berhenti di taraf iqra’ pertama (knowing), iqra’ kedua (understandiung) tetapi harus sampai ke taraf iqra’ ketiga (realizing).

Masalahnya sekarang bagaimana metode untuk sampai ke tingkat iqra’ ketiga, sebuah tingkatan yang mampu menyuguhkan suasana batin ‘merasakan kehadiran wahyu’ di dalam batin.

Merasakan kehadiran wahyu berbeda dengan merasakan kehadiran ilham, ta’lim, atau inspirasi cerdas. Dengan kata lain, beda rasa wahyu dan rasa ilham atau ta’lim. ‘Rasa wahyu’ diisyaratkan dalam ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal (Q.S. al-Anfal/8:2).

Bandingkan dengan ayat lain: (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka (Q.S. al-Haj/22:35).

Yang dimaksud kata ‘bergetarlah hati mereka’ (wajilat qulubuhum) dalam ayat di atas ialah identifikasi paling mendalam di dalam hati akan keberadaan wahyu suci di dalam batin.

Jika feeling itu sudah hadir maka seseorang bukan lagi memiliki kemampuan memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ayat-ayat Al-Qur’an sudah mampu menafsirkan diri yang bersangkutan.

Dengan demikian, Al-Qur’an dan manusia saling menafsirkan satu sama lain (Al-Qur’an yufassiru ba’dhuhum liba’dh).

Tidak heran jika ada orang samasekali tidak memahami bahasa Arab, apalagi memenuhi 13 syarat formal seorang mufassir sebagaimana dinyatakan oleh ulama tafsir.

Mungkin orang belum mauk kategori mufassir tetapi sudah mampu menjadi mufahhim Al-Qur’an. Bedanya ialah, mufassir memiliki otoritas dan legitimasi khusus sehingga bisa menjadi hujjah bagi orang lain.

Sedangkan mufahhim kurang memiliki otoritas dan legitimasi, dan dibatasi hanya menjadi konsumsi untuk dirinya sendiri atau di lingkungan murid-murid khususnya.

Meskipun antara keduanya berbeda tetapi tidak bisa dilegitimasi bahwa temuan mufassir otomatis lebih shahih dan valid daripada temuan mufahhim.

Mungkin hanya mufahhim tetapi ia memiliki kemampuan ilmu khusus dari Tuhan (Divine knowledge).

Sebaliknya mungkin mufassir tetapi hanya di dalam batas cognitive (knowing and understanding) tetapi belum masuk di dalam kategori realizing (Iqra’ ketiga).

Di antara kesulitan merasakan kehadiran wahyu di dalam kalbu karena belum jelasnya apa yang dimaksud wahyu.

Kita sebagai bangsa Indonesia yang belum semuanya bisa menangkap dzauq al-lugah bahasa Arab, belum bisa merasakan makna semantic kata wahyu, karena kita tidak memiliki kosa kata yang sepadan dengan wahyu.

Kita terpaksa mengindonesiakan kata wahyu itu sebagai inspirasi cerdas dari Tuhan yang diperuntukkan kepada Nabi.

Inspirasi cerdas yang turun kepada manusia non-nabi hanya bisa mengakses ilham atau ta’lim.

Dengan demikian, makna wahyu menjadi identik dengan Al-Kitab atau al-Qur'an. Padahal, ketiga istilah ini di samping mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan.

Semua ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan atau al-Kitab (Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an) adalah wahyu namun tidak semua wahyu adalah Al-Qur'an atau al-Kitab).

Al-Qur'an mengisyaratkan ada wahyu yang tidak ditujukan kepada Nabi atau kepada manusia melainkan kepada non-nabi dan jenis hewan, sebagaimana diungkapkan dalam ayat: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah:

"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia" (Q.S. al-Nahl/16:68).

Kita bisa terbantu menangkap makna holistik wahyu jika mencari padanannya di dalam bahasa Inggris.

Wahyu dalam bahasa Inggris secara literal sering diartikan dengan to reveal (menyingkapkan), to show, expose (menunjukkan), to xplosure (memberitahukan), to inform (mengumumkan), to appear (menyatakan), to make known (mengungkapkan), to display (memperlihatkan), to disclosure (memberitahukan), to discover, to open (membuka).

Dengan demikian, wahyu dapat dibayangkan sebagai sesuatu yang tadinya tersembunyi menjadi nyata, sesuatu yang tadinya misteri dan tidak diketahui menjadi diketahui dan difahami, sesuatu yang tadinya gaib menjadi syahadah atau disaksikan. Allahu a’lam.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Visa Diaspora
Selasa, 07 Mei 2024
Prof. Dr. Muhadam Labolo.(Dok. Pribadi)
Mencegah Pembusukan Kepala
Senin, 06 Mei 2024
Dahlan Iskan
Spesialis Permenkes
Senin, 06 Mei 2024
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo