2 Eks Mahid Rusia-Ceko Nggak Nyangka, Jokowi Tawarkan Kembali Jadi WNI

JAKARTA - Prof. Sudaryanto (81) dan Prof. Jaroni Soerjomartono (80), dua eks mahasiswa ikatan dinas di Rusia dan Ceko, seolah tak percaya ketika Presiden Jokowi menawarkan kembali menyandang status warga negara Indonesia (WNI) yang telah lama lepas.
Keduanya menjadi korban pelanggaran HAM berat. Tak bisa kembali ke Tanah Air, karena suasana rezim di tahun 1965.
Hari ini, Daryanto dan Suryo yang datang jauh-jauh dari Rusia dan Ceko, hadir dalam acara Peluncuran Pelaksanaan Rekomendasi Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Pidie, Aceh.
"Pak Daryanto dan Pak Suryo, ingin jadi warga negara Indonesia lagi nggak?" tanya Jokowi dalam acara peluncuran Pelaksanaan Rekomendasi Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Pidie, Aceh, Selasa (27/6).
Ditanya begini, Daryanto sejenak menampakkan ekspresi kaget.
"Saat ini, saya nggak sendiri lagi. Sudah ada tiga cucu," ucap Daryanto.
"Jadi, belum tentu mau ya, dibawa ke Indonesia?" tanya Jokowi.
"Belum tentu. Tapi, kalau diyakinkan, saya kira bisa," tutur Daryanto sambil tersenyum.
Bagaimana dengan Suryo?
"Terus terang, saya belum punya rencana. Tapi buat saya, ini kejutan. Saya tidak mengira, langkah-langkah seperti ini bisa terjadi di Indonesia, di saat saya masih hidup," ungkap alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Ceko.
"Ini momen bersejarah. Bukan hanya buat saya, tetapi juga untuk generasi mendatang," imbuhnya.
Harus Mengutuk Bung Karno
Suryo dan Daryanto, mengungkap ikhwal mereka tak bisa kembali ke Tanah Air.
Suryo menyebut, pada tahun 1965, terjadi suatu peristiwa di Indonesia, menyangkut adanya kudeta, yang disebut didalangi oleh Bung Karno.
"Buat saya pribadi, itu sangat tidak masuk akal. Sebab, Bung Karno waktu itu sudah menjadi Presiden, dengan kedudukan yang kuat," kata Suryo, yang saat itu berusia 22 tahun.
Suryo kala itu berstatus sebagai mahasiswa ikatan dinas di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Ceko. Dia mendapat beasiswa dari negara, lewat Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
Perjanjiannya, setelah lulus, harus bekerja untuk negara. Paling tidak, selama 3 tahun.
Namun, kenyataan berkata lain. Suryo dan 16 teman-teman sesama mahasiswa ikatan dinas di Ceko tak bisa kembali ke Indonesia, karena tak mau meneken persetujuan terbentuknya pemerintahan baru.
"Paspor kami dicabut. Kami tak bisa pulang," ucap Suryo.
Cerita yang tak jauh beda, juga dialami Sudaryanto, yang mendapat tugas dari Departemen Koperasi dan Transmigrasi Indonesia, untuk menuntut ilmu di Institut Koperasi Moskow. Atas beasiswa pemerintah Uni Soviet.
Namun, saat terjadi petistiwa 1965, Sudaryanto dinyatakan tidak memenuhi syarat skrining.
"Di sana, ada poin harus mengutuk Bung Karno. Itu tidak bisa saya terima. Seminggu setelah itu, saya menerima surat pemberitahuan, bahwa paspor saya dicabut," beber Daryanto.
Beruntung, Daryanto tetap mendapat jaminan dari pemerintah Soviet untuk tetap belajar, dan mendapat pekerjaan sebagai dosen. Hingga akhirnya, menjabat Dekan di Universitas Koperasi Rusia.
"Setelah tahun 2000, hubungan kembali normal. Indonesia memberi kesempatan untuk kembali ke Tanah Air, jika diperlukan," ucapnya
Olahraga | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu