Produk Akhir Revolusi Mental
Oleh:
SEPULUH tahun pasca Mulyono berkuasa mentalitas bangsa tak banyak berubah. Padahal mentalitas itulah yang menjadi fokus garapan ketika ia memulai debut perdana sebagai presiden ketujuh Republik Indonesia. Ia dengan percaya diri melafalkan mantera tentang apa yang disebut Revolusi Mental. Selanjutnya dibungkus rapi sebagai visi berjudul nawa-cita. Diterjemahkan ke dalam sistem perencanaan.
Revolusi mental yang ditujukan pada perubahan radikal di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya pada akhirnya meninggalkan antitesa yang mencemaskan. Politik lebih memproduksi kepemimpinan korup ketimbang memandu warga yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Korupsi menjadi wabah paling akut yang sulit dicari penawarnya.
Sejak pilkada diterapkan hingga 2024, lebih 503 kepala daerah, 2.496 birokrat, 5 ketua partai, 27 kepala lembaga/menteri, dan lebih 500 wakil rakyat mendekam di buih (Prasodjo, 2024). Politik tak mampu menghentikan, bahkan terperangkap pada urusan prosedur yang tak efisien mengorbankan isi perut rakyat. Padahal prosedur hanya soal bagaimana meraih tujuan utama, kesejahteraan.
Kelemahan mekanisme politik telah mengentalkan politik dinasti di pusat dan daerah, demagog demokrasi, politisasi birokrasi, pelunturan institusi hukum, kegagalan HAM, kerusakan lingkungan akibat barter kekuasaan, konflik agraria yang berkepanjangan, kriminalisasi, serta menipisnya kebebasan sipil di ruang publik.
Ekonomi tak memproduksi kemandirian. Rumah tangga negara ditanggung rente oleh pajak yang dibebankan pada rakyat. Ekonomi milik kaum elit yang disusun sebagai usaha bersama oligarki. Negara lebih memperlihatkan gagasan Marx sebagai arena konflik antara Borju vs Proletar dibanding ide Hegel yang menawarkan keadilan dan kebebasan sebagai cita kolektif.
Kontribusi pajak sebesar 82,4 persen menunjukkan kegagalan kemandirian ekonomi yang ditopang oleh sumber daya alam melimpah. Ia hanya menyumbang 7,4 persen dari sisa 17 persen (BPS, 2024). Singapura makmur ditopang pajak, Brunei sejahtera di dukung sumber daya alam. Ironisnya kita punya pajak dan sumber daya alam namun gagal melampaui keduanya.
Problem ekonomi diindikasi oleh carut-marut APBN, projek strategis nasional, serta ketergantungan hutang pada Tiongkok. Ketergantungan itu terlihat pada kebutuhan domestik seperti beras, kentang, kedelai, daging, hingga garam pada negara lain. Kita tak sepenuhnya mampu berdiri di atas rapuhnya ketahanan pangan dan gizi. Warga meregang lewat keparahan stunting dan kemiskinan ekstrem.
Kemandirian budaya tak memperlihatkan realitas maju. Nalar publik rasanya lebih banyak tercemar toksin yang dibentuk buzzer dan influenzer. Hyper informasi telah membentuk watak menelan informasi tanpa alat tapis. Negara menjadi semacam pabrik hoaks terbesar yang hidup di era _post truth_ untuk mengasuh kognisi, psiko, dan afeksi publik.
Kebudayaan berbangsa dan bernegara terasa mundur dari agenda yang disusun pasca runtuhnya orde baru. Negara, gagal memproduksi gagasan kecuali menelan mentah budaya dan kontrol bangsa asing. Kita bukan bangsa barat, bukan pula manusia timur tengah. Kita adalah manusia Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangan sebagaimana kritik Mochtar Lubis di tahun 1977.
Karakter minus bangsa tak berubah. Relasi _patron client_ tumbuh subur di institusi hukum, hilangnya independensi lembaga-lembaga negara, runtuhnya sistem pendidikan, serta raibnya profesionalitas militer, polisi, dan birokrasi sipil. Kebijakan struktural itu seringkali berjumpa dengan realitas kultural yang membentuk perilaku asal bapake senang.
Sepertinya, kita didorong menemukan jawaban atas pertanyaan pakar pemerintahan Ryaas Rasyid (2024), dari manakah membenahi kehancuran bangsa akibat kegagalan revolusi mental selama 10 tahun terakhir ini. Ada baiknya rezim selanjutnya mendalami problematika pemerintahan dengan serius guna merekonstruksi retakan mentalitas yang kian terdistorsi.
Gambaran visi, misi, serta program unggulan pemerintah berikutnya ideal terkoneksi kuat pada postur kabinet yang sedang disusun. Bila perangkat kabinet tak berangkat dari nawa-dosa sebagai kegagalan revolusi mental, artinya kita membiarkan dan mungkin saja dengan sengaja merawat lubang besar yang ditinggalkan. Inilah kecemasan yang menghantui dibanding era keemasan yang menjadi mimpi.(*)
Penulisan merupakan Guru Besar pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
TangselCity | 20 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 22 jam yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
TangselCity | 18 jam yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu