TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo
Menghemat Politik Identitas

Mengelola Bahasa Agama

Oleh: Prof. DR. KH. Nasaruddin Umar
Rabu, 14 September 2022 | 08:35 WIB
Prof. DR. KH. Nasaruddin Umar
Prof. DR. KH. Nasaruddin Umar

CIPUTAT - Suatu ketika Nabi akan memimpin shalat magrib, tiba-tiba salah seorang makmum kentut. Baunya sangat menusuk hidung. Nabi menunda takbir ihram lalu berbalik meminta sa­habat yang kentut supaya segera keluar mengambil air wudhu. Rupanya orang-orang Arab waktu itu juga malu dan tidak mau ketahuan dirinya yang kentut.

Sesungguhnya Nabi bisa saja menunjuk batang hidung sahabatnya yang kentut tetapi ia tidak ingin mempermalukan seseorang di depan umum. Berkali-kali Nabi meminta orang yang kentut agar keluar mengambil air wudhu tetapi tidak juga ada yang keluar.

Bau kentut itu tercium bagaikan bau daging unta, karena memang sorenya ada pesta di rumah salah seorang sahabat yang menyuguhkan daging unta. Waktu magrib sangat singkat diband­ing waktu-waktu shalat lainnya.

Akhirnya Nabi menggunakan bahasa diplomasi: “Siapa yang makan daging unta silakan keluar berwudhu”, maka semua jamaah yang hadir dalam undangan pesta tadi ramai-ramai keluar berwudhu.

Kalau hadis ini dipegang hanya teksnya: “Siapa yang makan daging unta harus mengambil air wudhu”, tidak dihubungkan dengan konteksnya, maka maknanya sangat berbahaya. Bisa be­rarti unta itu najis karena membatalkan wudhu. Malapetaka bagi masyarakat padang pasir ketika itu jika unta dinyatakan najis.

Satu-satunya alat transportasi efektif ketika itu ialah unta. Jika dinyatakan najis atau membatalkan wudhu bagi memakan atau menyentuhnya, sama dengan anjing atau babi, maka tentu merugikan umat.

Disinilah pentingnya mengkritisi sebuah dalil. Apakah teks dalil agama itu memiliki historical back ground atau tidak? Apakah menggunakan lafaz umum atau khusus? Kalau hadis, apakah tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an? Apakah teks dalil agama itu sudah di-mansukh atau dihapus hukumnya lalu digantikan hukum lain dalam dalil lain? Bagaimana kualitas kesahihan dalil agama (hadis) itu? Dan yang tak kalah pentingnya ialah apa konteks munasabah dalil agama itu? Setelah mamahami ini semua baru kita mende­klarasikan maksud dalil agama itu kepada publik.

Dalam peristiwa lain, diceritakan di dalam kitab Hadis Shahih Bukhari, kisah perundingan dan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy. Nabi memimpin lagsung delegas­inya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail.

Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Nabi meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, namun ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing, lalu ia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata: Hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Suhail kembali menolak redaksi ini dan mengusul­kan kata: Hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad ibn ‘Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

Pencoretan kata “Bismillahirrahmanirrahim” dan kata “Rasulullah” membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, namun Rasulullah meminta para sahabatnya un­tuk menyetujui naskah itu. Konon Nabi mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata itu, yang dianggapnya sebagai kalimat yang mengandung per­insip ajaran agama.

Nabi menyadari dalam kondisi tidak normal lebih penting mewujudkan substansi nilai ketimbang formalitas ajaran. Prinsip ini dikristalisasikan dalam kaedah usul fikih: Mala yudriku kulluh la tudriku kulluh (apa yang tak dapat diwujudkan semuanya jangan ditinggalkan semuanya).

Riwayat di atas menunjukkan betapa hebatnya Nabi men­gelola dan memainkan bahasa agama sehingga membuahkan win-win solution. Keyakinan Nabi tidak merasa tereduksi dengan penerimaan kalimat usulan golongan kafir Quraisy. Pihak kafir Quraisy pun juga merasa berhasil dengan penerimaan usul-usul mereka.

Seandainya Nabi bersikukuh dengan pendirian sahabat­nya, maka peperangan terus berlanjut. Ternyata kemampuan dan keahlian memainkan bahasa agama bisa menyelamatkan semua.

Pengalaman mengelola bahasa agama ini juga pernah dicontohkan oleh the founding fathers kita dengan rela mencoret ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para peme­luknya” diganti dengan “Panca Sila”. Keutuhan bangsa Indonesia juga dibingkai dalam sebuah kata profan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kalimat ini didukung oleh puluhan ayat dan hadis. (rm.id)

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo