Pemilu Nasional Dan Lokal Dipisah, Pengawasan Kuat
JAKARTA - Pemisahan Pemilu Nasional-Pemilu Lokal merupakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/ PUU-XXII/2024. Sayanganya, respons pembuat undang-undang terkesan lambat terhadap putusan yang final dan mengikat tersebut.
Research Associate The Indonesian Institute (TII), Arfianto Purbolaksono menilai, pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Pilkada efektif untuk memperkuat pengawasan pesta demokrasi di Indonesia. Dia mengatakan, dengan adanya jeda minimal dua tahun antar Pemilu itu, penyelenggara maupun masyarakat dapat memiliki ruang yang lebih luas untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Tanah Air.
“Jeda waktu antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah adalah kesempatan emas untuk memperbaiki sistem pengawasan. Selama ini beban kerjanya sangat menumpuk,” kata Arfianto dalam diskusi daring di Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemilu Nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu Lokal mencakup pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota).
Disebutkan juga, jeda di antara keduanya paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, maupun legislator tingkat nasional.
“Putusan ini membuka peluang signifikan untuk memperkuat pengawasan pemilu, meskipun tetap menyisakan sejumlah tantangan, terutama terkait kepastian hukum dan kesiapan regulasi,” tegas Arfianto.
Berdasarkan kajian TII, kata Arfianto, ada empat peluang utama dari putusan MK tersebut. Pertama, pengurangan beban kerja sehingga pengawasan dapat dilakukan lebih fokus. Kedua, pengawasan yang lebih mendalam karena tidak ada lagi tahapan besar yang berlangsung secara bersamaan.
Ketiga, perencanaan yang lebih optimal dengan adanya jeda minimal dua tahun antarpemilihan. Keempat, kesempatan untuk memperbaiki strategi jangka panjang, mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pendidikan politik yang lebih efektif.
“Tapi perlu juga diantisipasi tentang risiko besarnya,” katanya.
Arfianto membeberkan tentang risiko besar yang harua diantisipasi dari putusan MK 135 tersebut. Yaitu, potensi ketidakpastian hukum akibat belum adanya revisi UU Pemilu, tumpang tindih kewenangan, serta potensi pelanggaran konstitusional apabila masa jabatan DPRD tidak lagi serempak lima tahunan.
Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi komprehensif terhadap regulasi Pemilu sambil memperkuat transparansi dan koordinasi antar-lembaga,” katanya.
Sementara itu, Manajer Policy Research Populi Center, Dimas Ramadhan menyoroti lambannya proses revisi UU Pemilu di DPR meskipun Putusan MK 135 telah keluar sejak awal 2025. “Progresnya lamban. Padahal revisi ini menentukan desain pemilu ke depan, termasuk bagi pengawasan,” ujarnya.
Dimas menyebut empat prinsip keadilan pemilu yang harus menjadi acuan dalam merancang aturan baru. Yaitu, integritas proses, efisiensi administratif, aksesibilitas bagi pemilih, serta independensi penyelenggara.
Pemisahan Pemilu, lanjut Dimas, memiliki sejumlah dampak positif dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia. Di antaranya, mencegah tumpang tindih tahapan pemilu, mengurangi beban ekstrem penyelenggara, hingga memastikan isu lokal tidak tenggelam oleh dinamika Pemilu serentak.
“Dampaknya bagi Bawaslu bisa positif jika disertai perencanaan yang matang. Risiko overload bisa turun, koordinasi antar-lembaga lebih intensif, dan kualitas pengawasan meningkat,” katanya.
Selain itu, kata Dimas, Bawaslu dapat memperkuat kemampuan pengawasan tematik: isu nasional seperti pendanaan kampanye dan disinformasi dapat dipisahkan dari isu lokal seperti politik uang atau keberpihakan ASN.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Bawaslu RI, Puadi menegaskan, putusan MK tidak hanya mengubah jadwal pemilu, tetapi juga mengubah total desain penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia. Perubahan ini, kata dia, berdampak langsung pada tata kerja dan strategi pengawasan.
“Putusan MK 135/2024 merupakan jawaban atas kritik terhadap pelaksanaan Pemilu Serentak Penuh yang dinilai membebani logistik, administrasi, hingga pengawasan di lapangan,” ujarnya.
Pemisahan Pemilu, kata Puadi, memungkinkan Bawaslu melakukan pengawasan yang lebih mendalam terhadap satu jenis pemilihan dalam satu siklus. Hal ini, menurutnya, memperkuat kualitas investigasi pelanggaran dan mempermudah penegakan hukum, termasuk dalam kasus-kasus seperti politik uang.
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pendidikan | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
Pos Banten | 1 hari yang lalu
















