Jangan Sampai Petani Merasa Diabaikan
Senayan: Stop Impor Beras
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IV DPR Anggia Ermarini meminta Pemerintah segera menghentikan kebijakan impor beras. Dia pun mewanti agar sengkarut data perberasan dihentikan dan mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS).
Anggia bilang, penghentian impor beras bertujuan agar petani lokal tidak merasa diabaikan negara.
"Petani merupakan pemilik kedaulatan negeri ini. Di tangan merekalah sumber pangan disandarkan,” ujarnya.
Dia pun meminta agar kebiasaan Pemerintah mendatangkan beras dari negara lain tidak terus dilakukan. Sebab itu sama saja menganggap produksi petani kita gagal mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Persoalan impor beras ini, lanjutnya, dipicu oleh ketidakmampuan Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam memenuhi stok cadangan beras Pemerintah (SBP) sebanyak 1,2 juta ton. Padahal BPS sebagai sumber tunggal data produksi gabah dan beras nasional telah menyatakan bahwa stok di tingkat petani cukup, bahkan surplus 1,7 juta ton.
Untuk itu, Anggia meminta para stakeholders pangan menanggalkan ego sektoral masing-masing dalam menyikapi kebijakan di sektor pangan, terutama kebijakan impor beras. Hendaknya kebijakan pangan yang diambil berbasis data data antar lembaga dengan tetap mengacu pada data BPS.
“Silang sengkarut ini harus segera disudahi. Jika kita menyandarkan data produksi beras pada BPS, sudah semestinya rekomendasi BPS-lah yang menjadi pegangan,” tegas politisi perempuan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Ketua Umum PP Fatayat Nahdlatul Ulama ini menegaskan, suara petani merupakan suara basis negeri ini. Sehingga sudah barang tentu pasti akan menolak kebijakan impor beras. “Ini yang harus digarisbawahi Pemerintah,” pungkasnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV Firman Soebagyo mendorong BPS menggunakan otoritasnya dalam menetapkan data saat pemerintah mengambil keputusan untuk sektor pertanian Indonesia.
Agar, persoalan impor beras bisa diminimalisir karena adanya silang pendapat antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait data perberasan.
"Karena BPS-lah yang sebenarnya mempunyai otoritas dan berhak untuk menetapkan data itu, maka BPS yang harus mempunyai tanggung jawab itu,” tegas Firman.
Silang sengketa data antarlembaga ini, lanjutnya, terjadi sejak tahun 2009 dan sampai saat ini belum terselesaikan tuntas. Jika BPS dapat tampil menjadi satu-satunya lembaga yang menjadi patokan dalam pengambilan kebijakan, maka impor beras ini dapat dicegah.
“Impor beras ini sebenarnya tidak perlu karena produksi nasional sudah mencukupi,” ujarnya.
Firman mengatakan, polemik data ini pula yang mengakibatkan kekecewaan serta melemahkan semangat petani. Sehingga pada akhirnya, petani yang paling terdampak dengan kebijakan impor beras ini.
“Akibatnya pasti harga beras merosot tajam dan petani tidak mampu bersaing,” jelas politisi Golkar ini.
Dia meminta Kementan dan Kemendag tidak main-main mengelola data. Karena, dampak silang data ini tidak hanya menjadi perdebatan publik akan tetapi juga berpotensi melahirkan krisis pangan di Indonesia.
“Jadi akibat data tidak sinkron ini, maka ada unsur-unsur negatif harus dihadapi. Pemerintah harus menyikapi dengan serius persoalan data pangan agar tidak terjadi perdebatan berkelanjutan seperti ini,” jelas Wakil Ketua Umum DPP Golkar ini. rm.id
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
Pos Tangerang | 10 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 1 hari yang lalu
TangselCity | 15 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 19 jam yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu