Sikat Pengoplos Beras

JAKARTA - Kasus beras oplosan menjadi perhatian serius pemerintah. Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang ditugaskan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, bergerak cepat memburu pelaku pengoplosan beras yang diduga merugikan masyarakat hingga hampir Rp 100 triliun per tahun.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan, pihaknya akan mengejar siapa pun yang terlibat dalam praktik curang pengoplosan beras premium yang meresahkan publik. “Tim sudah bergerak sejak kemarin,” kata Sigit kepada wartawan, Rabu (23/7/2025).
Sigit menambahkan, penyelidikan ini menjadi prioritas karena mendapat perhatian langsung dari Presiden Prabowo. Sigit meminta masyarakat bersabar dan berjanji akan mengumumkan perkembangan kasus ini secara berkala.
Kabar terbaru datang dari Bareskrim Polri yang telah menaikkan status perkara pengoplosan beras dari penyelidikan ke penyidikan. Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf menjelaskan, peningkatan status ini dilakukan setelah ditemukan indikasi kuat pelanggaran hukum. Bukti tersebut diperoleh dari hasil uji laboratorium Kementerian Pertanian (Kementan) serta keterangan saksi dan ahli.
“Telah ditemukan dugaan tindak pidana. Maka, dari gelar perkara, kami naikkan ke tahap penyidikan,” ujar Kepala Satgas Pangan Polri itu di Bareskrim, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2025).
penyelidikan sementara, ditemukan tiga produsen beras dari lima merek yang tidak memenuhi standar mutu kategori beras premium. Penyidik telah melakukan penggeledahan, penyegelan, dan penyitaan barang bukti dari berbagai lokasi, termasuk tempat produksi, gudang, gerai ritel, dan kantor perusahaan. Tiga produsen yang telah diperiksa antara lain: PT PIM, PT FS, dan PT TSJ.
Gudang PT PIM di Serang, serta kantor dan gudang PT FS di Jakarta Timur telah digeledah dan disegel. “Dari hasil penyidikan sementara, kita dapat tiga produsen atas lima merek tersebut, yaitu merek beras premium,” ujarnya.
Hingga kini, belum ada tersangka yang ditetapkan. Namun, penyidik menduga adanya pelanggaran terhadap Pasal 62 jo Pasal 8 ayat (1) huruf a dan f UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan/atau Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Tak hanya Polri, Kejaksaan Agung juga turut menangani kasus ini. Korps Adhyaksa telah membuka penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait peredaran beras oplosan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna menyatakan, penyelidikan dilakukan oleh Satgas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK) di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Kami selidiki potensi penyimpangan mutu dan harga beras dari ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah,” ujar Anang di Kompleks Kejagung, Kamis (24/7/2025).
Anang menjelaskan, pihaknya telah melayangkan pemanggilan terhadap enam perusahaan produsen beras sejak Rabu (16/7/2025). Mereka dijadwalkan menjalani pemeriksaan di Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta Selatan, pada Senin (28/7/2025).
Enam perusahaan yang telah dipanggil yaitu: PT WPI, PT FS, PT BPR, PT UCI, PT SJI, dan PT SUL. Pemanggilan ini berdasarkan temuan awal tim penyelidik.
Ia juga menegaskan, Kejagung bergerak cepat atas instruksi langsung Presiden Prabowo, termasuk melakukan koordinasi dengan Polri agar penanganan perkara tidak tumpang tindih.
“Dalam rangka melaksanakan penyelidikan ini, tentunya Satgassus P3TPK akan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Satgas Pangan Mabes Polri serta Gugus Ketahanan Pangan TNI,” katanya.
Kasus beras oplosan ini terungkap dari hasil investigasi bersama antara Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan Polri. Dari 268 sampel beras yang diuji, mayoritas terbukti merupakan beras oplosan.
Penelusuran yang dilakukan pada 6–23 Juni 2025 menunjukkan bahwa: 85,56 persen beras premium tidak memenuhi standar mutu, 59,78 persen dijual di atas HET, dan 21,66 persen tidak sesuai berat kemasan.
Kerugian akibat praktik ini tidak main-main. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Kementan mengungkapkan potensi kerugian mencapai Rp 99 triliun per tahun. Rinciannya, negara dirugikan lewat program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) karena beras subsidi dijual kembali sebagai beras premium. Sementara masyarakat dirugikan karena membeli beras oplosan dengan harga tinggi.
Opini | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Galeri | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu