TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Tata Kota Tata Hati

Oleh: Budi Rahman Hakim, Ph.D.
Editor: Redaksi selected
Jumat, 08 Agustus 2025 | 10:44 WIB
Budi Rahman Hakim, Ph.D.  Foto : Dok. Pribadi
Budi Rahman Hakim, Ph.D. Foto : Dok. Pribadi

SERPONG - Di kota-kota besar, pembangunan sering diukur dari banyaknya jalan yang dibeton, gedung yang menjulang, dan taman yang dipercantik. Tapi pertanyaannya: benarkah kota menjadi lebih baik jika hanya itu yang dibangun? Tangerang Selatan bisa jadi contoh menarik. Kota ini berkembang cepat, tapi di balik pembangunan fisik yang terus melaju, tata hati—yakni perasaan, kenyamanan, dan nilai hidup warganya—seringkali tertinggal.

 

Dalam pandangan tasawuf, tata lahir (zāhir) dan tata batin (bāṭin) harus berjalan seiring. Seperti tubuh dan ruh, kota dan masyarakatnya tak bisa dipisahkan. Jika kotanya rapi tapi masyarakatnya gelisah, maka tata kota belum menyentuh esensi. Jika fasilitas mewah dibangun, tapi warga kecil tetap tersingkir, maka pembangunan hanya menyisakan luka.

 

Tata kota bukan sekadar soal zonasi dan drainase. Ia juga soal empati. Jalan yang lebar tak ada artinya kalau trotoarnya tak ramah untuk difabel. Flyover tak menyelesaikan kemacetan jika perumahan dan sekolah dibangun tanpa perhitungan. Bahkan dalam ajaran Islam, tata ruang harus memenuhi maqāṣid al-sharī‘ah—melindungi jiwa, akal, harta, agama, dan keturunan (Al-Raysuni, 2005). Jika pembangunan malah membuat masyarakat tercerabut dari akar sosial dan spiritualnya, itu pertanda ada yang salah.

 

Sayangnya, kita kerap melihat penataan kota di Tangsel yang seolah mengabaikan hati nurani. Proyek besar kadang tak didahului dialog publik. Pasar tradisional digusur, sementara pusat perbelanjaan terus tumbuh. Warga asli tersingkir, wajah kota jadi elitis. Ini bukan pembangunan, tapi penggusuran identitas.

 

Kota yang baik bukan yang bersinar di brosur, tapi yang hangat dirasakan warganya. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Pemimpin terbaik adalah yang rakyatnya merasa dilayani tanpa merasa diperintah.” Maka pembangunan mesti menyentuh hal paling dasar: rasa aman, tenang, dan damai di hati warganya. Bukan sekadar monumental, tapi juga mengayomi.

 

Pemkot Tangsel harus mulai menata kota dari sisi spiritual: perbanyak ruang publik yang inklusif, perhatikan ruang ibadah yang nyaman, lindungi ruang hijau dari kepentingan kapital. Libatkan tokoh agama, budayawan, dan komunitas lokal dalam menyusun masterplan pembangunan. Sebab arsitektur kota yang spiritual bukan yang indah di langit drone, tapi yang menyentuh batin warga yang tinggal di dalamnya.

 

Dalam Risalah Qusyairiyah, Al-Qusyairi menulis: “Tidak akan lurus batin seseorang jika lahirnya rusak.” Demikian juga kota: tidak akan nyaman lahirnya jika batin masyarakatnya dibiarkan tertekan. Maka, mari kita dorong paradigma baru: tata kota haruslah sejalan dengan tata hati.

 

Tangerang Selatan bukan sekadar kota tempat tinggal. Ia adalah rumah bersama. Dan rumah yang baik bukan hanya yang megah, tapi yang membuat penghuninya betah, tenteram, dan merasa dihargai.

Komentar:
Berita Lainnya
Dahlan Iskan
Gemes Garuda
Kamis, 07 Agustus 2025
Dahlan Iskan
Kapal Prabowo
Rabu, 06 Agustus 2025
Dahlan Iskan
Tersisa Lula
Senin, 04 Agustus 2025
Ist.
Bersih Hati, Bersih Kota
Jumat, 01 Agustus 2025
Dahlan Iskan
Sayap Ekonom
Kamis, 31 Juli 2025
ePaper Edisi 08 Agustus 2025
Berita Populer
04
Truk Terguling Bikin Ciputat Macet Parah

TangselCity | 9 jam yang lalu

05
122 Juta Rekening Sudah Dibuka Kembali PPATK

Nasional | 2 hari yang lalu

06
BMKG: Cuaca Ekstrem Landa Tangsel 3 Hari

TangselCity | 2 hari yang lalu

07
Kapal Prabowo

Opini | 2 hari yang lalu

10
Tata Kota Tata Hati

Opini | 5 jam yang lalu

GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit