TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Haji 2025

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers

Membaca Demo 25 Agustus 2025

Oleh: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si
Editor: Redaksi
Selasa, 26 Agustus 2025 | 16:21 WIB
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si.  Foto : Dok. Pribadi
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si. Foto : Dok. Pribadi

SERPONG - Demo 25 Agustus 2025 memberi pesan yang sangat kental dan jelas bahwa demokrasi Indonesia masih terjaga dan berdenyut.

 

Ribuan orang turun ke jalan, dari buruh, petani, mahasiswa, hingga pelajar. Banyak sekali dari mereka yang hadir tanpa atribut organisasi, partai maupun aliansi manapun.

 

Sehingga yang nampak adalah suara rakyat yang jujur dan murni. Di aksi tersebut ada 5 tuntutan. Saya membaginya menjadi 3 dan 2 tuntutan. 3 tuntutan pertama adalah mengenai pembubaran DPR, penolakan terhadap tunjangan tinggi anggota dewan, dan desakan percepatan untuk pengesahan RUU Perampasan Aset. 3 tuntutan ini rasional dan kuat secara substansi. Namun 2 tuntutan berikutnya, bisa dianggap sebagai wacana emosional yang muncul di lapangan, seperti tuntutan pengusutan dugaan korupsi keluarga Pak Jokowi, serta pemakzulan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.

Banyak orang yang mengatakan bahwa dua hal ini bukan agenda resmi, tapi sebagai wujud cermin kekecewaan masyarakat luas terhadap keluarga ini. Seperti demo-demo yang pernah terjadi di Jakarta, kita melihat ada sebuah format yang mirip.

 

Siang hari penuh orasi dan idealisme yang begitu menggugah rasa nasionalisme. Namun keadaan berubah 180 derajat ketika malam tiba. Saat malam, terjadi kericuhan, fasilitas umum dirusak, sehingga membuat esensi dari aksi tercoreng. Kemungkinan penyusupan dan provokasi terbuka lebar.

Dengan ini, aspirasi yang murni menjadi kabur di mata publik. Tentu besar harapan saya untuk kita ini tetap jernih membaca peristiwa ini, agar suara rakyat tidak hilang hanya karena ulah segelintir yang anarkis.

 

Pada saat yang sama, istana sedang melaksanakan agenda kenegaraan penting, yakni penganugerahan tanda jasa kepada 141 putra putri bangsa.

 

Upacara ini adalah penghormatan negara kepada mereka yang telah mengabdi di bidang masing-masing. Banyak yang mempertentangkan kedua hal ini. Seolah istana tutup telinga dengan teriakan rakyat yang berdemo di luar. Seolah Presiden Prabowo tidak peka terhadap suasana.

 

Namun izinkan saya untuk mengatakan bahwa kedua peristiwa ini sebetulnya tidak perlu dipertentangkan. Demo adalah wujud demokrasi, penganugerahan adalah wujud penghargaan.

 

Keduanya memperlihatkan bahwa Indonesia masih punya ruang untuk kritik sekaligus ruang untuk memberikan penghormatan. Inilah demokrasi.

Selain dua hal itu, ada pula dinamika elite yang patut dicatat. Menurut hemat saya, sebagian pensiunan yang merasa perannya telah selesai, kini menunjukkan kekecewaan karena hubungan baik Presiden Prabowo dengan Presiden ke-7 Joko Widodo tetap terjaga. Ada pula anak-anak muda di lingkar kekuasaan yang terlalu bersemangat hingga kadang nampak berlebihan dalam berekspresi.

Semua ini menambah riuhnya suasana, karena sesungguhnya bangsa ini justru membutuhkan ketenangan. Politik semestinya tidak menjadi arena siapa yang lebih banyak tampil, melainkan wadah besar untuk saling berkontribusi menjaga persatuan dan merawat bangsa.

 

Dari peristiwa 25 Agustus ini, banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik. Rakyat boleh marah, karena itu merupakan hak yang dijamin oleh demokrasi. Akan tetapi, amarah tidak boleh berubah menjadi kebrutalan.

Aparat perlu menjaga ketertiban dengan tegas, namun tetap arif agar tidak menggeneralisasi semua massa sebagai perusuh sehingga harus diberikan tindakan kasar. Pemerintah juga wajib membuka telinga dan berbenah, karena jeritan rakyat adalah amanat yang tidak boleh diabaikan.

 

Amarah rakyat sejatinya adalah energi. Energi ini bisa menjadi bara bila diabaikan, namun bisa juga menjadi obor penerang bila direspon dengan bijak. Seni bernegara ada pada kemampuan mendengar, merangkul, dan memberi ruang. Jika ketiga hal ini bisa dijalankan, demokrasi akan tetap sehat, negara akan tetap kuat, dan bangsa akan tetap terhormat.

 

 

 

Penulis Dari: Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) & Ketua DPP Partai Golkar Bidang Luar Negeri dan Hubungan Internasional

Komentar:
GROUP RAKYAT MERDEKA
RM ID
Banpos
Satelit