TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

KPU Langgar Administrasi

Aneh, Putusan Bawaslu Tak Koreksi Kuota Perempuan

Oleh: Farhan
Kamis, 30 November 2023 | 11:39 WIB
Ketua Majelis Pemeriksa Bawaslu Puadi memimpin Sidang Pemeriksaan Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) di Gedung Bawaslu. Foto : Ist
Ketua Majelis Pemeriksa Bawaslu Puadi memimpin Sidang Pemeriksaan Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) di Gedung Bawaslu. Foto : Ist

JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ketok palu terkait perkara keterwakilan perempuan di Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai terlapor dinyatakan melanggar administrasi karena gagal memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Perkara dugaan tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan itu diputus Majelis Pemeriksa Bawaslu, Rabu (29/11/2023). Perkara itu sebelumnya di­laporkan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan ke Bawaslu.

“Memutuskan, satu, menyatakan terlapor (KPU) secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi pemilu,” kata Ketua Majelis Pemeriksa, Puadi, dalam sidang pembacaan putusan.

Bawaslu pun memerintahkan terlapor melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pada tahapan pencalonan anggota DPR dengan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24/P/HUM/2023 dan Surat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Nomor 58/WKMA.Y/SB/X/2023 tanggal 23 Oktober 2023.

Bawaslu juga memberi teguran kepada KPU tidak mengulangi perbuatan yang melanggar perundang-undangan.

Dalam pertimbangannya, Bawaslu me­nilai KPU lambat merespons putusan MA Nomor 24/P/HUM/2023 yang menyatakan penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan dengan metode pembulatan ke bawah melanggar UU Pemilu.

Pasalnya, putusan itu sudah terbit se­jak 29 Agustus 2023. Tapi, KPU hanya menyurati partai-partai politik untuk mematuhi putusan itu, tanpa melakukan perbaikan atas peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023 (PKPU 10/2023) tentang pencalegan.

“Majelis pemeriksa menilai tindakan terlapor sudah terlambat dan membuk­tikan terlapor tidak memiliki komitmen dan keseriusan melaksanakan putusan Mahkamah Agung,” kata Anggota Majelis Pemeriksa, Herwyn Malonda, membaca­kan bagian pertimbangan putusan.

Herwyn mengatakan, keterlambatan tersebut mengakibatkan ketidaksia­pan partai politik peserta pemilu guna melakukan perbaikan daftar bakal calon untuk memenuhi target keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil).

Selain itu, Bawaslu juga menyoroti tin­dakan KPU yang justru mengajukan per­mintaan fatwa kepada MA yang meminta agar putusan MA itu baru diberlakukan pada Pemilu 2029.

MA kemudian merespons melalui Surat Wakil Ketua MA yang pada pokoknya me­nyatakan, pelaksanaan hasil uji materi MA dilaksanakan KPU selaku termohon sendiri, akan dilaksanakan pada Pemilu 2024, atau pemilu selanjutnya, bukan ada di ranah MA lagi, namun wewenang KPU.

“Terlapor seharusnya segera menen­tukan sikap terkait waktu pelaksanaan putusan MA apakah dilaksanakan pada Pemilu 2024 atau pemilu selanjutnya,” kata Herwyn.

Herwyn mengatakan, ketidakjelasan sikap terlapor pada akhirnya menimbul­kan ketidakpastian hukum.

“Sikap Terlapor menunjukkan penging­karan keadilan perempuan sebagaimana adagium hukum, justice delayed is justice denied,” ujarnya.

Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini tidak puas dengan putusan Bawaslu. Dia menilai, putusan Bawaslu soal keterwakilan perempuan ambigu dan tidak tegas.

“Bawaslu menyatakan KPU melanggar prosedur administrasi pemilu. Namun, di sisi lain tidak memerintahkan koreksi atas 267 DCT yang melanggar keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” katanya.

“Bawaslu diragukan komitmen dan in­dependensinya sebagai penegak keadilan pemilu,” sambung Titi.

Dia mengatakan, sesuatu yang melang­gar prosedur pengajuan daftar calon, arti­nya tidak bisa dilanjutkan penetapannya. Lantaran melanggar basis fundamental untuk bisa ditetapkan sebagai daftar calon di pemilu, yaitu keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

“Karena prosedur terbukti melang­gar Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, maka menetapkan hasil yang melanggar adalah tindakan melawan hukum dan tidak sah,” kata Titi.

Komentar:
Bapenda
Serut
Bapendalit
ePaper Edisi 13 Mei 2024
Berita Populer
02
Tenis Italian Open 2024

Olahraga | 1 hari yang lalu

03
Semifinal Playoffs NBA 2024

Olahraga | 2 hari yang lalu

07
Bung Karno Bukan Hanya Milik Satu Partai

Nasional | 2 hari yang lalu

09
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo