Gawat, 110 Anak Terpapar Terorisme
JAKARTA - Kabar buruk menghantui anak-anak penerus bangsa ini. Sebanyak 110 anak dilaporkan terpapar virus terorisme. Mereka dirayu oleh kaum radikal melalui media sosial (medsos) dan game online.
Hal ini diketahui setelah penangkapan dua terduga teroris, MS (18 tahun) dan JJS (19 tahun), oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Senin (17/11/2025). Dari sana diketahui, mereka melibatkan anak-anak.
Karopenmas Polri Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, Densus 88 menangkap MS di Tegal, Jawa Tengah. Sedangkan JJS diringkus di Agam, Sumatera Barat. Dari penangkapan itu, diketahui ada tiga orang lagi yang terkait dalam grup medsos mereka, yang diduga merekrut anak-anak sebagai teroris.
"Dari para pelaku di grup medsos tersebut lima orang ditangkap. Yakni FW asal Medan, LM Sulawesi Tenggara, BMS Sleman, MS asal Tegal, JJS Padang," ujar Trunoyudo, di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Peran kelima pelaku berbeda-beda. Mulai dari merekrut sampai mendoktrin anak-anak sehingga bersedia melakukan aksi teror. Jumlah anak yang terpapar pun sudah banyak.
"Densus 88 mencatat sekitar 110 anak usia rentang antara 10 hingga 18 tahun yang tersebar 23 provinsi, diduga terlibat jaringan terorisme," terang mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini.
Para tersangka merekrut anak dan pelajar dengan memanfaatkan ruang digital. Mulai dari medsos, game online, aplikasi pesan, hingga situs tertutup. Mereka melakukan propaganda secara bertahap. Propaganda diawali dengan diseminasi melalui platform yang terbuka, seperti Facabook, Instagram, dan game online. Kemudian, anak-anak yang dianggap potensial dihubungi secara pribadi melalui WhatsApp atau Telegram.
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan, jumlah itu meningkat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang 2011-2017, Densus 88 mengamankan 17 anak terkait aksi teror. Sedangkan di tahun ini, terdapat 110 anak yang berhasil teridentifikasi dan terafiliasi teroris.
Mayndra menduga, teroris di Indonesia melakukan perekrutan secara terstruktur. "Kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring," ulasnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol (Purn) Eddy Hartono mengkonfirmasi temuan tersebut. Kata dia, salah satu pola yang terdeteksi adalah, para pelaku menyasar anak-anak yang tergabung di komunitas True Crime Community (TCC).
TCC merupakan komunitas atau kelompok penggemar yang memiliki minat khusus terhadap kisah-kisah kriminal nyata. Mulai dari kasus pembunuhan, hilangnya seseorang, penipuan, kriminal psikologis, hingga investigasi yang belum terpecahkan (cold cases). Komunitas ini biasanya berkumpul di berbagai platform media sosial seperti YouTube, TikTok, podcast, Reddit, hingga Twitter (X).
"Rekrutmen secara online memang sedang tren. Dalam kajian psikologis ada istilah memetic radicalization atau memetic violence. Jadi, dia (anak) lebih kepada meniru ide atau perilaku," terang Eddy.
Contohnya kasus ABH pelaku ledakan di SMA 72 Jakarta. Anak ini diketahui mengakses grup TCC hingga meniru perilaku tertentu demi merasa hebat atau memiliki kebanggaan.
Saat ini, BNPT bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Sosial, serta ahli psikologi untuk memetakan kondisi psikologis para anak yang terpapar.
Kata Eddy, ketika tim sudah mengetahui secara psikologi pada anak-anak yang terpapar, BNPT melakukan rehabilitasi. "Rehab apa yang pas ketika orang atau anak-anak ini mengalami tekanan secara psikologis. Itu yang kita kembangkan," ungkapnya.
Plt Deputi Kementerian PPPA Ratna Susianawati menegaskan, Pemerintah terus memperkuat perlindungan anak di ruang digital. Peningkatan kasus rekrutmen terorisme terhadap anak menuntut percepatan regulasi dan kolaborasi multisektor.
Ratna menjelaskan, Presiden telah menerbitkan Perpres 87 Tahun 2025 tentang strategi perlindungan anak di ranah daring. Ada tiga strategi yang dilakukan: pencegahan, penanganan, dan kolaborasi. Penekanannya lebih kepada pemulihan anak korban terorisme menjadi prioritas dalam setiap penanganan.
"Kami memastikan langkah pemulihan, pendampingan sesuai dengan kebutuhan anak," kata Ratna.
Sementara, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menerima daftar game online yang dijadikan sarana penyebaran paham radikalisme dari Densus 88. Untuk langkah selanjutnya, Komdigi masih menunggu hasil penyidikan aparat.
"Ini kan masih on going investigasi. Kita tidak bisa membuka investigasi kalau masih berproses,” ujar Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi Alexander Sabar.
Dia memastikan, Pemerintah bisa langsung memblokir game online apabila nantinya terbukti menyalahi aturan yang telah ditentukan. Jika mereka tidak mematuhi Indonesia Game Rating System (IGRS), akan dikenai sanksi.
Olahraga | 2 hari yang lalu
Olahraga | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu
Pos Banten | 2 hari yang lalu



