TangselCity

Pos Tangerang

Pos Banten

Politik

Olahraga

Nasional

Pendidikan

Ekonomi Bisnis

Galeri

Internasional

Selebritis

Lifestyle

Opini

Hukum

Advertorial

Kesehatan

Kriminal

Indeks

Dewan Pers SinPo

Netralitas ASN: Pemilu Bersih Tanpa Politisasi Birokrasi

Oleh: Albri Anggara
Senin, 01 Januari 2024 | 23:07 WIB
Foto : Ist
Foto : Ist

CIPUTAT - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dan keterkaitannya dengan politisasi sistem birokrasi hingga saat ini masih menjadi persoalan yang perlu segera ditanggulani. Persoalan seperti ini tidak dapat dinafikan, terlebih saat ini negara yang sedang dalam tahap developing an action dari berbagai sektor termasuk salah satunya sektor vital yaitu pembangunan politik, yang secara struktural sudah tertera melalui roadmap reformasi birokrasi. Sedianya sasaran dalam roadmap reformasi birokrasi secara periodik tidak terlepas dari unsur utamanya yaitu pengupayaan pembangunan birokrasi yang bersih, akuntabel dan bebas KKN. Namun masih saja terjadi persoalan seperti bentuk perlakuan yang bersifat deviasi sehingga menyebabkan deteriorasi pada aparatur negara, seperti fenomena yang seringkali terjadi di berbagai daerah, yaitu bentuk perlakuan menyimpang yang dimanfaatkan oleh pejabat petahana dalam memobilisasi ASN untuk meraup keuntungan dan memuluskan gerakan politiknya. Namun jika kita menilai hal ini secara seksama tentu fenomena politik yang terjadi bukan tanpa sebab, sebab yang dihasilkan justru dikarenakan terbukanya celah dalam regulasi yang berujung pada pemanfaatan kekuatan politik demi kepentingan politik, atau dapat di-istilahkan dengan tragedi politik adikuasa dalam birokrasi, begitu juga dengan tidak matangnya mekanisme sistem (merit) ASN yang dipersiapkan oleh pemerintah. Kurangnya koordinasi dan sinkronisasi mekanisme dalam sistem dan prosedur sesama mitra kerja kelembagaan antara Kementrian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) maupun Lembaga Administrasi Negara (LAN) terkadang menjadi penyebab budaya patrimonial masih mengakar dalam birokratisasi negara. Sehingga corak perlakuan yang lahir dari budaya patrimonial seperti pengaruh pejabat daerah dalam meloloskan keluarga, sejawat ataupun koleganya sebagai ASN masih marak terjadi. Adapun bentuk output daripada perlakuan banal tersebut yaitu adanya jalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik, atau sederhananya dapat dikatakan adanya ketergantungan dalam sebuah ikatan yang dibangun oleh pejabat daerah dengan aparatur negara.
Persoalan mengenai netralitas ASN merupakan bagian dari salah satu isu hukum yang bersinggungan dengan esensi dari kebebasan berserikat, sebagaimana tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, pemerintah sebagai lembaga eksekutif bersama dengan mitra lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seyogyanya bersinergi menggunakan kewenangan dalam membuat pembatasan aktivitas ASN yang pokoknya berujung pada kode etik dan kode perilaku mengenai (netralitas) ASN. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, kedayagunaan dan keadilan guna membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan bergeraknya kekuasaan atas naluri atau kepentingan pribadi dan kelompok (vested interest) yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Seperti yang dikatakan oleh Prof. Mahfud MD, bahwa salah satu persoalan besar bangsa ini dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas pegawai negeri, karena secara teoritis sulit ditemukan landasan yang dapat memberikan alasan pembenar atau justifikasi bagi dimungkinkannya pegawai negeri untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Sebagai salah satu persoalan yang dinilai kompleks, dan selalu menjadi perhatian utama menjelang Pemilu saat ini bentuk politisasi birokrasi terhadap ASN dinilai masih tidak kunjung teratasi. Lambat laun kondisi ini tentu akan berdampak pada deteriorasi kinerja ASN, karena adanya intervensi dari kekuatan-kekuatan politik yang berpotensi terjadinya konflik kepentingan. ASN yang diharapkan memiliki profesionalitas dalam menjalankan peran dan fungsi nya sebagai pelayan publik justru menjadi sulit terwujud dikarenakan adanya benturan dengan kekuatan politik yang memiliki kepentingan dalam manuver politik praktisnya. Secara praktis, persoalan terkait politisasi birokrasi ini dapat terlihat melalui keterikatan politis antara PNS dengan kepala daerah yang terpilih melalui penempatan jabatan yang tidak bersifat meritokratik atau tidak berdasarkan kompetensi, namun lebih dikarenakan faktor Marriage System. Dapat dianalogikan bahwa terjadinya perkawinan tidak sah dikarenakan cinta terlarang, seperti ASN yang menghalalkan segala cara untuk merangkai jabatan tertinggi nya, melalui prinsip dan dukungan mereka terhadap calon yang dinilai memiliki kekuatan politik untuk memuluskan rangkaian orientasi oknum ASN tersebut akan jabatan struktural yang tinggi, maka melalui upaya banal tersebut yang tentu melanggar kode etik dan perilaku ASN mereka tetap berupaya menyokong dukungan kepada calon melalui intervensi terhadap kelembagaan dan kepegawaian birokrasi yang tentu berkaitan dengan manuver politik calon. Dengan adanya celah yang dapat dimanfaatkan dari regulasi maka akan terbukanya kesempatan marriage system untuk memainkan perannya dalam memuluskan kenaikan jabatan bagi oknum ASN yang membantu manuver politik calon yang memiliki kekuatan politik. Adapun terdapat satu faktor mengapa ASN mudah untuk tunduk terhadap arahan daripada petahana atau calon yang memiliki kekuatan politik, tidak lain dan bukan dikarenakan kedudukan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). PPK yang berwenang melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN. Tentu hal inilah yang kemudian menjadi awal dari persoalan dalam pembentukan karakter seorang ASN. Dikarenakan terdapat keterikatan khusus antara ASN dengan petahana dalam siklus relasi kuasa. Sehingga tidak heran bila beberapa kalangan ASN dirasa tidak memiliki independensi, objektivitas dan transparansi dalam pelayanan public ataupun hal yang bersifat administratif.
Netralitas ASN dalam kontestasi politik dapat dikaji melalui hukum kepegawaian. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Dr. Ernst Utrecht salah seorang pakar hukum Belanda. Utrecht menjelaskan bahwa hukum administrasi menguji hubungan hukum Istimewa yang diadakan untuk memungkinkan pejabat administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus. Di satu sisi, ASN adalah aparatur pemerintah yang dituntut untuk melaksanakan tugas pemerintahan serta memberikan pelayanan publik, namun di lain sisi mereka juga anggota masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan politis maupun juga ekonomis yang di dalamnya menyangkut terkait hak pilihnya dalam Pemilu. Namun sungguh perihatin justru seringkali kepentingan tersebut lebih dominan, sehingga kerap kali bentuk penyelenggaraan Pemilihan Umum dinilai sebagai pemilihan yang gagal secara normatif, atau simplifikasinya tidak adanya kejujuran dan keadilan dalam bentuk penyelenggaraannya. Larangan dengan jelas dipahami, namun tidak disertai dengan penegakan sanksi tepat guna tentu akan menciptakan zona nyaman bagi oknum ASN untuk turut terlibat dalam upaya pemenangan calon yang diuntungkan dalam relasi kuasa. Karena diakui ataupun tidak, banyak ASN yang memanfaatkan momentum pemilihan untuk mengubah nasib meraka dalam merangkai orientasi mereka akan jabatan yang meningkat dari sebelumnya, secara tidak langsung mereka tidak menyadari bahwa perlakuan tersebut memiliki efek domino dan bersifat Stick and Carrot. Signifikansinya terdapat dalam istilah pasar saham yaitu High Return High
 Risk, bahwa perbuatan tersebut memang mendorong keuntungan yang menggiurkan namun juga memiliki resiko yang besar terhadap pelakunya.


Persoalan mengenai netralitas ASN memang masih sering timbul dalam penyelenggaran Pemilu. Hal ini terbukti melalui berbagai pelanggaran yang disiarkan melalui unggahan video, gambar dan teks yang beredar dalam media konvensional maupun non-konvensional. Hal tersebut selaras dengan data yang dilansir dari laporan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran ASN meningkat per-tahun 2020 pasca Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak, dari 24 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada serentak ditemukannya beberapa pelanggaran yang jumlahnya melebihi 100 ASN bahkan sudah dinilai sebagai rapor merah oleh Menteri PAN-RB sendiri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas menyebutkan bahwa peta pelanggaran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu hijau (jumlah pelanggaran di bawah 5 ASN), kuning (dengan jumlah pelanggaran 6-20 ASN), dan merah (yang diidentifikasi dengan jumlah pelanggaran di atas 20 ASN). Adapun data lapangan menunjukkan secara gamblang deteriorasi yang terjadi pada ASN seperti pelanggaran yang terjadi di beberapa daerah termasuk diantaranya Sulawesi Utara yang mencapai 170 ASN, Sulawesi Tenggara mencapai 180 ASN, Maluku Utara mencapai 166 ASN, Nusa Tenggara Barat sekitar 143 ASN, dan Sulawesi Selatan 140 ASN, serta Jawa Tengah yakni mencapai 123 ASN.


Dalam UU. No. 20 Tahun 2023 Pasal 24 Ayat (1), (2), dan (3) telah ditetapkan penegakan hukum dalam pola kinerja ASN yaitu menaati ketentuan peraturan perundang-undangan, melaksanakan nilai, kode etik dan kode perilaku ASN, serta menjaga netralitas, begitu juga dengan adanya sanksi bagi pegawai ASN yang tidak menaati dan melanggar peraturan yang ada. Namun senyatanya fenomena keterlibatan beberapa oknum ASN dalam serangkaian kegiatan politik seperti sosialisasi dan kampanye untuk memenangkan kembali petahana yang sebelumnya memegang kendali relasi kuasa masih terus saja eksis hingga saat ini, seperti fenomena aktual yang belakangan terjadi, adanya pelanggaran yang terjadi dan dilakukan oleh oknum ASN, seperti Eks Camat Jaten Karanganyar yang mengintervensi bawahannya untuk mendukung salah satu paslon, begitu juga dengan oknum ASN di boyolali yang mengalami kejadian sama, dengan adanya intervensi dengan mengarahkan dan mengintimidasi bawahannya untuk mendukung salah satu paslon tertentu, dan masih banyak fenomena yang sama juga terjadi di daerah lainnya.
Ketua KASN Agus Pramusinto juga turut mengatakan bahwa per-bulan Desember 2023, terdapat 219 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN, 50% diantaranya sudah melewati tahap pemeriksaan dan telah dinyatakan bersalah. Fenomena sosial seperti ini seakan mengindikasikan bahwa peraturan perundang-undangan terkait netralitas ASN belum ditegakkan secara optimal pada birokrasi kita hingga kini. Adanya larangan yang dengan jelas dipahami, namun hal tersebut tidak disertai dengan adanya penegakan sanksi yang kuat dan tepat guna demi terciptanya zona yang aman dan kredibel bagi ASN.
Menyikapi deretan isu yang berkembang Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Abdullah Azwar Anas menghimbau kepada para ASN untuk tetap menjaga netralitas saat perhelatan kontestasi elektoral ini berlangsung. “Netralitas berarti memiliki prinsip untuk tidak berpihak, bebas dari pengaruh, dan imparsial. Jika ASN tidak netral sebagai pelayan publik maka akan terhambat karena kinerja ASN menjadi tidak professional,” tutur Anas di Banyuwangi, Senin (18/12).
Secara substansial Anas menekankan pada konteks pentingnya menjaga netralitas ASN, bahwa dengan keberpihakan atau ketidaknetralan ASN akan sangat merugikan negara, pemerintah, dan masyarakat. Serta dengan tidak profesionalnya kinerja ASN saat sedang berlangsungnya pesta demokrasi akan berdampak pada tidak tercapainya target-target/prospek pemerintah di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Lebih lanjut Anas mengatakan, “ASN tetap punya hak pilih, namun hanya bisa diberikan di bilik suara, tidak di media atau kanal lain,” ujar Anas.
Perlunya mencermati kembali bahwa adanya potensi gangguan netralitas atau bentuk pelanggaran yang terjadi dalam setiap tahapan Pemilu dan Pilkada. Untuk menjamin terjaganya netralitas ASN, pemerintah sendiri sudah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani bersama mitra kerja Kementrian PAN-RB yaitu Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), BKN, KASN, dan Bawaslu. SKB tersebut berisi tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai ASN dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Diharapkan dari SKB yang berlaku mampu menanggulangi dan juga menjadi solusi pasti terhadap persoalan yang sedang diatasi saat ini.
Dari penjelasan fenomena sebelumnya sangat jelas dipahami bahwa pengaruh politik bertransformasi menjadi sebuah kunci yang menentukan jenjang karir seorang ASN dalam pemerintahan. Secara regulasi memang tidak memberikan ruang bagi ASN untuk ikut serta sebagai anggota/pengurus partai politik, akan tetapi loyalitas seorang ASN menjadi titik persoalannya. Loyalitas yang seharusnya diberikan kepada negara dapat berbelok arah menjadi loyalitas pada pihak lain dalam maksud dan tujuan tertentu.
Pejabat publik sebagai pemegang kekuasaan di birokrasi baik di Tingkat pusat, provinsi dan daerah kabupaten/kota sudah selayaknya turut memberikan kontribusi dan dukungan nyata terhadap perwujudan netralitas ASN. Meskipun kepala daerah adalah anggota/pengurus politik yang menduduki jabatan pemerintahan, namun harus mampu menempatkan ASN sebagai pihak yang netral dan professional, bukan malah sebaliknya. Politisasi birokrasi memiliki dampak buruk bahkan hingga merusak citra kesatuan ASN dan juga merugikan kepentingan publik. Sudah seharusnya seorang pejabat tidak boleh menggunakan fasilitas yang melekat padanya untuk kepentingan politiknya, juga dengan tidak membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu tanpa landasan yang jelas dan kuat, serta memobilisasi ASN dengan ataupun tanpa memberikan janji-janji tertentu kepada ASN. Keberhasilan reformasi birokrasi sangat bergantung pada peran dari seorang pejabat tinggi yang sadar akan fungsi dan wewenangnya dalam birokrasi. Wewenang yang dimiliki digunakan sebagai instrument dalam merumuskan kebijakan yang semata-mata demi negara, tidak dalam hal lain, sehingga ASN sebagai pelaksana dapat mematuhi dan melaksanakan dengan baik sesuai asas normatif dalam rangka mewujudkan good governance.


Merefleksikan problematika kompleks berkaitan dengan netralitas ASN, kita dapat memahami bahwa asas netralitas meenjadi peranan penting dalam menjaga profesionalisme ASN. Lembaga negara yang memiliki wewenang sebagai pembentuk produk hukum diharapkan mampu membuat regulasi dalam rangka pengetatan akses pemangku jabatan publik dalam bentuk pelanggaran menyalahgunakan kewenangan dalam pemanfaatan aset kekuasaan yang ditindak atas nama negara, dalam poin itu harus terdefinisikan secara ketat dan tepat, serta memberikan akses pengawasan ketat dari pihak internal ASN untuk dapat melaporkan segala bentuk intervensi, dan juga dirasa perlu adanya konsiderasi rasional terkait pembatasan peran ASN atau penyusunan format kinerja yang efektif secara hierarkis dalam bentuk produk peraturan-perundang-undangan, yang diharapkan hal tersebut dapat memperkecil potensi penyalahgunaan kewenangan. Penulis juga memiliki beberapa langkah solutif yang konkrit dalam menyikapi persoalan tersebut. diantaranya yaitu kembali pada tahap optimalisasi efektivitas governance (ASN). Pertama, Instansi Pemerintah wajib memiliki benchmark untuk melakukan talent mobility dalam Indeks Profesionalitas (IP) ASN sebelum melakukan pengadaan pegawai ASN. Melalui IP tersebut dibentuk komite talenta sebagai upaya untuk penyiapan talent pool dan juga dengan penyiapan komite suksesi untuk menjamin pelaksanaan mobilitas talenta ASN. Kedua, rekrutmen yang diselenggarakan harus bersifat ekuivalen antara fleksibilitas secara waktu dan fleksibilitas secara metode (meritokratik), tidak boleh adanya ketimpangan diantara dua komponen tersebut, karena tentu akan berdampak pada terbukanya celah daripada keran relasi kuasa dalam memainkan manuver politiknya dan mempolitisasi birokrasi. Ketiga, SKP sebagai dokumen aktif harus selalu disesuaikan dengan prospek terbaru dari pimpinan selagi berdampak pada hal yang signifikan dan positif, begitu juga dengan
evaluasi performa kinerja antara pegawai dan kinerja organisasi secara struktural harus sesuai dan sinkron, dan sudah seharusnya evaluasi kinerja diberlakukan tidak dalam jangka waktu yang terlalu lama, sebaiknya dalam jangka waktu pendek setiap tahunnya, bersifat variatif dan lebih signifikan, sehingga pemerintah juga dapat merelevansikan prospek kinerja dalam menentukan standarisasi pola kinerja ASN bila terjadi perubahan dalam skala tertentu.


Penulis, Albri Anggara

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Jakarta

Komentar:
Bapenda
Serut
Bapendalit
ePaper Edisi 14 Mei 2024
Berita Populer
02
Tenis Italian Open 2024

Olahraga | 1 hari yang lalu

04
Semifinal Playoffs NBA 2024

Olahraga | 2 hari yang lalu

07
Bung Karno Bukan Hanya Milik Satu Partai

Nasional | 2 hari yang lalu

09
GROUP RAKYAT MERDEKA
sinpo
sinpo
sinpo