Mistisnya MotoGP Mandalika, Restu Sang Putri dan Misteri Angka 8

MANDALIKA - Saya masih ingat waktu itu di Mandalika. Langit mendung, tapi garis laut di kejauhan berkilat seperti logam. Angin membawa aroma garam dan sedikit bau aspal baru.
Di paddock, mekanik-mekanik sibuk mengelap motor. Sementara, seekor burung camar hinggap di pagar pit lane, seperti sedang ikut menonton. Saya tersenyum. “Ini Mandalika,” kata saya, dalam hati.
Sirkuit yang tak hanya berisi suara mesin dan kecepatan, tapi juga legenda, sejarah, dan kalau mau jujur sedikit hal-hal yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan akal.
Putri Mandalika dan Laut yang Menyimpan Janji
Cerita dimulai jauh sebelum bunyi knalpot dan sponsor global. Ketika Lombok masih berupa kerajaan kecil bernama Sekar Kuning. Ada seorang putri bernama Mandalika, yang menolak puluhan lamaran pangeran agar tak menimbulkan perang. Ia memilih satu jalan yang tak biasa: mengorbankan diri ke laut.
Tubuhnya hilang dalam cahaya, tapi rakyat percaya rohnya hidup dalam bentuk makhluk hidup ciptaan Tuhan yang disebut nyale. Maka setiap tahun orang Lombok turun ke pantai mencari nyale, mengenang sang putri. Tradisi itu disebut Bau Nyale.
Dan sekarang, di tanah tempat Putri Mandalika menyatu dengan laut, berdiri sirkuit internasional yang membawa nama yang sama. Sebuah kebetulan? Mungkin tidak. Saya lebih suka menyebutnya: takdir yang berputar.
17 Tikungan dan Misteri Angka 8
Sirkuit Mandalika punya 17 tikungan, 11 ke kanan, 6 ke kiri. Jumlahkan saja: 1 + 7 = 8. Angka yang sama yang selalu muncul di balik cerita-cerita besar: keseimbangan, kekuatan, keabadian. Dan Mandalika memang penuh simbol.
Tikungan 5 dan Tikungan 10 jadi “legenda kecil” tersendiri. Di sanalah para pembalap top Marc Márquez, misalnya pernah dijatuhkan dua kali dalam satu sesi. Keras. Tidak wajar. Tapi sangat Mandalika. Saya pernah mendengar kru berkata sambil geleng-geleng kepala:
“Aspalnya hidup, Pak. Panas sedikit, berubah. Dingin sedikit, pecah.” Saya hanya tertawa kecil.
Mungkin aspal di sini ikut menyerap energi dari laut. Atau.…
Cuaca yang Tak Bisa Disuap
Kalau di sirkuit Eropa cuaca bisa diprediksi dengan radar, di Mandalika cuaca seperti punya nyawa sendiri. Pagi bisa kering, siang bisa hujan badai, sore bisa kembali terang. Awan menggulung, angin laut membawa pasir halus, dan tiba-tiba lintasan berubah karakter.
Saya pernah bertanya pada marshal lokal: “Kenapa cuaca di sini cepat berubah?” Ia tersenyum lebar. “Kalau stabil, bukan Mandalika, Pak.” Dan saya langsung percaya. Karena hanya di sini saya melihat balapan bisa berubah bukan karena strategi ban, tapi karena kehendak langit.
Angka 8 yang Mengikuti
Mari kita lihat kembali angka 8 tadi.
17 tikungan → 1 + 7 = 8,
Tanggal race 2025 → 3–5 Oktober → 3 + 5 = 8
Dan di antara semua pembalap yang turun tahun ini, hanya satu yang nomor motornya berjiwa 8: Somkiat Chantra (35 → 3 + 5 = 8).
Kebetulan? Atau Mandalika sedang “memanggil” namanya?
Dia bukan pembalap besar. Tapi saya tahu, Mandalika sering memilih dengan cara yang aneh. Yang terlalu percaya diri biasanya jatuh. Yang rendah hati, justru bertahan. Mungkin Mandalika lebih percaya pada hati daripada horsepower.
Yang Cepat Tak Selalu Juara
Marc Márquez (93) mungkin akan selalu jadi magnet perhatian. Tapi sejarah Mandalika membuktikan: bintang besar pun bisa tumbang.
Pecco Bagnaia (63) sang juara dunia mungkin memimpin di sesi latihan, tapi di sini, tidak ada yang aman. Pedro Acosta (37) si bocah ajaib bisa tiba-tiba kehilangan grip hanya karena butir pasir kecil dari pantai.
Dan mungkin, justru Somkiat Chantra (35) yang datang tanpa beban, tanpa ekspektasi akan jadi kejutan. Karena Sirkuit Mandalika bukan tempat untuk membuktikan siapa paling cepat. Ini adalah tempat untuk membuktikan siapa yang paling " direstui " sang Putri untuk menjadi Juara.
Refleksi: Angka 8 dan Kepemimpinan
Saya teringat satu hal. Angka 8 bukan cuma simbol mistik. Dalam filosofi Tiongkok, angka ini melambangkan infinity, kekuatan yang tak terputus.
Dan di Indonesia, angka 8 juga sering dikaitkan dengan keseimbangan dan kebangkitan. Kebetulan, Presiden Prabowo dikenal dekat dengan simbol angka ini.
Ia percaya pada keteguhan, kesabaran, dan siklus takdir, tiga hal yang juga melekat dalam bentuk angka 8. Tidak lurus, tidak tajam. Tapi berputar, melingkar, menyatu, dan kembali ke asalnya. Seperti halnya Mandalika.
Di sirkuit ini, siapa pun yang ingin menang harus belajar menyeimbangkan antara logika dan naluri, antara kecepatan dan kebijaksanaan, antara ambisi dan kerendahan hati. Persis seperti filosofi kepemimpinan: bukan soal siapa paling kuat, tapi siapa paling mampu memahami irama alam dan waktu.
Di Tikungan Terakhir
Ketika bendera start dikibarkan, bukan hanya mesin yang berpacu. Tapi juga jiwa manusia yang menantang nasib. Di Mandalika, yang jatuh bukan berarti kalah bisa jadi justru sedang diuji oleh alam. Karena seperti angka 8 yang tak punya ujung, kisah Mandalika pun tak pernah berakhir. Ia hanya berputar, kembali, dan menunggu siapa yang cukup bijak untuk menaklukkannya dengan hati.
Jadi, nanti ketika race usai dan kamera berhenti merekam, mungkin laut akan tenang. Mungkin angin berhenti berbisik, tapi siapa tahu di dasar laut, Putri Mandalika tersenyum. Karena hari itu, lagi-lagi, legenda dan manusia berhasil berpacu bersama.
Dan seperti angka 8 milik Prabowo, Mandalika akan terus berputar. Tak berujung, tak selesai, tapi selalu hidup. Sukses MotoGP Mandalika 2025
Taufan Rahmadi
Dewan Pakar GSN Bidang Pariwisata dan Analis Kebijakan BA Center
Hukum | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 2 hari yang lalu
TangselCity | 2 hari yang lalu
Pos Tangerang | 2 hari yang lalu
Olahraga | 1 hari yang lalu
Nasional | 1 hari yang lalu
Nasional | 21 jam yang lalu
Nasional | 20 jam yang lalu